Syariat Islam dalam Pendidikan

Friday, March 21, 2014

print this page
send email

“Sistem pendidikan nasional di Indonesia masih mewarisi sistem kolonial. Perlu dilakukan perombakan total pada sistem pendidikan nasional agar bisa membentuk watak anak yang mandiri dan kreatif ... .”


A. LATAR BELAKANG

Benarkah apa yang dinyatakan dalam pernyataan di atas?
Bila benar, sebenarnya apa yang masih diwarisi sistem pendidikan nasional dari sistem pendidikan kolonial? Apa indikasinya? Dan yang terpenting, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang carut-marut itu? Perombakan total seperti apa yang harus dilakukan? Itulah sejumlah pertanyaan seputar dunia pendidikan yang perlu direnungkan.

Salah satu persoalan pelik yang dihadapi masyarakat, selain ekonomi dan politik, adalah persoalan pendidikan. Ketika tawuran antarpelajar marak terjadi di berbagai kota, ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang tergolong kriminal, serta penyalahgunaan narkoba dan meningkatnya seks bebas di kalangan pelajar, dunia pendidikan kembali dituding gagal membentuk watak mulia anak didik. Buntutnya, seperti biasa, segera muncul saran untuk memperbaiki kurikulum atau muatan pada mata ajar; misalnya seruan untuk kembali memuat pelajaran budi pekerti dalam kurikulum pendidikan, seperti yang didengungkan beberapa waktu lalu. Akan tetapi, bila sebelumnya yang dipersoalkan hanya sebatas masalah mata pelajaran atau paling jauh struktur kurikulum, Ajip Rosidi dan mungkin banyak kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan, mempersoalkan hal yang lebih mendasar, yaitu tentang sistem pendidikan nasional yang dipersepsi masih mewarisi sistem pendidikan kolonial. 

Diakui atau tidak, sistem  pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang merupakan sistem pendidikan yang sekuler-materialistis. Jika disebut bahwa sistem pendidikan nasional mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekuler-materialistis inilah yang paling utama. Hal ini tampak  jelas pada hilangnya nilai-nilai transedental di semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan materi ajar, kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar, hingga budaya sekolah/kampus sebagai hidden curiculum, yang  sebenarnya berperanan penting dalam penanaman nilai-nilai.

Sistem pendidikan semacam ini terbukti gagal melahirkan manusia saleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi  pendidikan menghasilkan dikotomi pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan “agama” di satu sisi dan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh Departemen Agama. Sementara itu, pendidikan umum yang diselenggarakan melalui sekolah dasar, sekolah menengah/kejuruan, dan perguruan tinggi umum dikelola Departemen Pendidikan Nasional.  Timbul kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang tidak berhubungan dengan agama. Adapun pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang digarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar –untuk tidak menyebutnya selalu— salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek. Di sisi lain, pengajaran agama dan persoalan keagamaan digarap oleh Depag, seolah pendidikan Islami identik dengan pengajaran agama Islam saja. Adanya pesantren yang dalam banyak aspek sering dipuji sebagai sebuah bentuk pendidikan Islam alternatif, dalam perspektif ini, sesungguhnya, semakin mengukuhkan dikotomi makna pendidikan itu.

Pendidikan sekuler-materialistis ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains teknologi melalui “pendidikan umum” yang diikutinya, tapi pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk  kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqafah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya? Pada saat yang sama mereka yang belajar di lingkungan “pendidikan agama”, memang menguasai tsaqafah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik, tapi di sisi lain, ia buta akan perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena  orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, depag), tidak mampu terjun di sektor modern.

Pendidikan sekuler-materialistis juga memberikan siswa suatu basis pemikiran yang serba- terukur secara material, kekinian dan serba-profan, serta memungkiri hal-hal yang bersifat transedental dan imanen.  Disadari atau tidak, berkembang penilaian  bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan  investasi yang telah ditanam.  Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,  jabatan, kekayaan, atau apa pun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi  yang sangat individual. Nilai transendental dirasa  tidak memiliki kepatutan untuk dijadikan standar penilaian sikap dan perbuatan.  Tempatnya digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi pula.


B. PENDIDIKAN SEKULER BAGIAN DARI KEHIDUPAN SEKULER
Sistem pendidikan yang sekuler-materialistis tersebut, sebenarnya, hanyalah bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja  digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan pada wilayah “urusan individu dengan tuhannya saja”.  Karena itu, di tengah-tengah sistem sekuler tadi, lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama, yaitu tatanan ekonomi yang kapitalistis, perilaku politik yang oportunistis, budaya hedonis, kehidupan sosial yang egoistis dan individualistis, sikap beragama yang sinkretis, serta paradigma pendidikan yang materialistis.

Dalam tatanan ekonomi kapitalistis,  kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna justru dirasakan menghambat. Sementara itu, dalam tatanan politik yang oportunistis, kegiatan politik tidak diniati untuk menegakkan nilai-nilai, tetapi sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.  

Dalam tatanan budaya yang hedonis, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat dan trend setter ke arah mana “kemajuan” budaya  harus diraih. Ke arah sanalah dalam musik, mode, makanan, film bahkan gaya hidup ala Barat, orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistis-sekuler adalah menggejalanya kehidupan sosial yang egoistis dan individualistis. Tatanan bermasyarakat  yang ada  memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Kebebasan individu harus ditegakkan karena menurutnya itu adalah hak, tidak peduli kendati itu harus melanggar tuntunan agama. Koreksi sosial  hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.

Sikap beragama sinkretistis intinya adalah menyamadudukan semua agama. Kebenaran agama menjadi sangat relatif. Semua agama seolah menjadi benar. Sikap beragama seperti ini menyebabkan  sebagian  umat Islam  memandang rendah, bahkan tidak suka, serta menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Fenomena penolakan terhadap seruan pembelakuan syariat Islam, yang justru juga dilakukan oleh sejumlah elit umat, adalah bukti yang sangat nyata bahwa sinkretisme adalah pilihan. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang muslim harus meyakini hanya Islam saja  yang diridhai Allah Swt.

Kehidupan yang sekuler nyata-nyata  telah menjauhkan  manusia dari hakikat  visi dan misi penciptaannya. Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme,   diartikan sebagai  iqomatu al-hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, atau membangun struktur kehidupan  di atas landasan selain agama (Islam).  Adapun Syekh Taqiyyudin An-Nabhani (1953) dalam kitabnya Nidzamu al-Islam, menjelaskan sekulerisme  sebagai fashlu al-din ani al-hayah  atau  memisahkan agama (Islam) dari kehidupan.  Pemikiran sekulerisme itu sendiri berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan.  Saat itu, kekuasaan agamawan (rijaluddin) yang berpusat di gereja sangat mendominasi di setiap lapangan kehidupan, termasuk di bidang  ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yang sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yang rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran gereja yang dogmatis. Galileo Galilei dan Copernicus yang menolak mengubah pendapatnya bahwa  mataharilah yang menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris), sebagaimana yang didoktrinkan gereja selama ini,  akhirnya dihukum.  Sampailah para ilmuwan  dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan, sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial, dan lainnya) harus  steril dari agama. Inilah  awal munculnya pemahaman sekulerisme.

Namun, satu hal yang harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yang menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yang ketika itu memang sudah tidak lagi  up to date.   Karena itu, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi dialamatkan pula pada Islam: agama yang  sempurna lagi paripurna dan diridhai Allah Swt. bagi seluruh umat manusia.

Islam jelas tidak mengenal pemisahan urusan ritual dan urusan duniawi.  Shalat adalah  ibadah yang merupakan bagian dari syariat dan seluruh umat Islam harus terikat  sebagaimana keterikatan kaum muslim  pada syariat di bidang  yang lain, seperti ekonomi dan sosial politik.  Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan, merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman pada  ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yang lain.  Oleh karena itu,  benar-benar  sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.


C. SOLUSI FUNDAMENTAL

Pendidikan yang materialistis -- sebagaimana dapat dicermati pada  Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Paradigmatisnya– adalah buah kehidupan sekuler yang terbukti gagal mengantarkan manusia menjadi sosok yang utuh, yakni  seorang abidu al-shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh  dua hal. Pertama, paradigma  pendidikan yang keliru, yaitu menempatkan asas penyelenggaraan pendidikan di atas landasan sekuler.  Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuler tadi, yakni sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistis dan serba-individualistis.

Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni : 
  1. Kelemahan lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta  tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan yang seharusnya, 
  2. Kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan 
  3. Keadaan  masyarakat yang tidak kondusif.
Kacaunya kurikulum yang berawal  dari  asasnya yang sekuler tadi, kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan tsaqafah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak pada peran guru yang sekadar  berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer sistem nilai ilmu pengetahuan dan sistem norma kedewasaan yang membentuk kepribadian (transfer of personality). Hal itu disebabkan oleh kepribadian guru/dosen sendiri banyak yang tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah dengan minimnya sarana pendukung, seperti masjid/mushala) turut  menumbuhkan budaya  yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah/kampus itu, akhirnya menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 

Begitu pula halnya dengan kelemahan pada unsur keluarga yang umumnya  tampak pada lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai bagi anaknya.  Lemahnya pengawasan  terhadap  pergaulan anak dan minimnya teladan orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, semakin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.

Sementara itu, masyarakat yang semestinya berperan sebagai media pendidikan yang riil justru berperan sebaliknya. Hal ini  diakibatkan oleh berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak pada penataan semua aspek kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun politik,  termasuk tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama. Berita-berita di media massa yang cenderung mempropagandakan hal-hal negatif, seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat merupakan salah satu aspek yang memberikan distorsi pada dunia pendidikan. Kelemahan unsur keluarga dan masyarakat ini, pada akhirnya, lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Dengan demikian, yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif  pada  pribadi anak didik. 

Oleh karena itu,  penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental, dan itu hanya dapat diwujudkan melalui perbaikan secara menyeluruh yang diawali pada perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Di samping itu, pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan memperbaiki  strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.

1. Solusi pada Tataran Paradigmatis
Secara paradigmatis, pendidikan  harus dikembalikan pada asas akidah Islam yang bakal menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum, dan standar nilai ilmu pengetahuan, serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar komponen pendidikan yang lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas. 

Paradigma baru pendidikan yang berasas akidah Islam itu semestinya juga harus berlangsung secara berkesinambungan, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi yang pada ujungnya akan bermuara pada terciptanya keluaran (output) peserta didik yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), menguasai  tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek  dan keahlian). Bila dalam orientasi keluaran pendidikan sekuler (lihat Bagan Faktual Orientasi Pendidikan. Sekuler) ketiga unsur tersebut terpisah satu sama lain dan diposisikan berbeda dimensi  (agama – non-agama)    dengan  proporsi   sangat  tidak seimbang yang menyebabkan kegagalan pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik selama ini, maka  dalam  pendidikan yang ideal (lihat Bagan Ideal  Orientasi Pendidikan. Integral), ketiga unsur tersebut  harus merupakan satu kesatuan  yang utuh.

Melihat  kondisi objektif pendidikan saat ini,   langkah  yang diperlukan adalah   optimasi proses-proses pembentukan kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqafah Islam, serta meningkatkan pengajaran sains-teknologi dan keahlian sebagaimana yang sudah ada dengan menata ontologi, epistemologi, dan aksiologi keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, sekaligus mengintegrasikan ketiganya seperti yang tampak pada  Bagan Solusi Orientasi Pendidikan. Optimasi dan Integrasi.

2. Solusi pada Tataran  Strategi Fungsional

Pendidikan integral  harus  melibatkan  tiga unsur pelaksanam, yaitu keluarga, sekolah/kampus, dan masyarakat.  Bagan Faktual 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Negatif, menggambarkan  kondisi objektif pendidikan saat ini, di mana ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping setiap unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antarketiganya, kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh pada unsur pelaksana pendidikan yang lain. Maksudnya, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat pada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat, seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada waktu yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat  nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, lengkaplah kehancuran tiga pilar pendidikan tersebut.
  • Bagan Skematis Akar dan Solusi Problem Kehidupan
  •  Bagan Skematis Akar Masalah Pendidikan dan Solusi Fundamentalnya
  • Bagan  Faktual Orientasi Pendidikan. Sekuler
  • Bagan Ideal  Orientasi Pendidikan Integral
  • Bagan  Solusi Orientasi Pendidikan Optimasi & Integrasi
  • Bagan Faktual 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Negatif.

Dalam pandangan sistem pendidikan Islam,  semua unsur pelaksana pendidikan harus memberikan pengaruh positif kepada peserta didik sehingga arah dan tujuan pendidikan didukung dan dicapai bersama-sama, sebagaimana tampak pada Bagan Ideal 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Positif. Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus  diatasi.   Bagan Solusi  3 Unsur Pelaksana Pendidikan  Alternatif Idealis,  memberikan skema solusi optimal yang berangkat dari kondisi objektif  saat ini.

Bagan Ideal 3 Unsur Pelaksana Pendidikan. Sinergi Pengaruh Positif.

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem  pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan di mana  semua komponen  berbasis   paradigma Islam, yaitu : 
  1. Kurikulum yang paradigmatis, 
  2. Guru/dosen yang  profesional, amanah dan kafa’ah, 
  3. Proses belajar mengajar secara Islami, serta 
  4. Lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal.
Dengan  melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya  meminimalkan pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif  pada anak didik,  diharapkan  pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif  sejalan dengan arahan Islam.

Kedua, membuka lebar ruang interaksi keluarga dan masyarakat agar keduanya dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus – keluarga – masyarakat inilah yang akan membuat  pribadi anak didik terbentuk secara utuh sesuai dengan kehendak Islam.

Berangkat dari paparan  di atas, maka  untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud  setidaknya terdapat  empat komponen yang harus disiapkan  guna menunjang  tindak solusif sebagaimana yang digagas –seperti  tampak pada  Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problem Pendidikan di Sekolah¬— yakni menyiapkan kurikulum paradigmatis, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumber daya guru/dosen. 

  • Bagan Solusi  3 Unsur Pelaksana Pendidikan Alternatif Idealis.
  • Bagan Skematis Fakta dan Solusi Problem Pendidikan di Sekolah/Kampus.

D. PENDIDIKAN  ISLAM
Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Pendidikan  harus  merupakan bagian yang tak terpisahkan  dari sistem hidup Islam.  Sebagai bagian integral dari sistem kehidupan Islam, sistem pendidikan memperoleh masukan dari suprasistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran  bagi suprasistem tersebut. Adapun subsubsistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa), manajemen, struktur dan jadwal waktu,  materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian, serta biaya pendidikan.

Interaksi fungsional antarsubsistem pendidikan dikenal sebagai proses pendidikan. Proses pendidikan ini didefinisikan Pannen dan Malati (1996) dalam Program Applied Approach sebagai proses transformasi atau perubahan kemampuan potensial individu peserta didik menjadi kemampuan nyata untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir dan batin. Proses pendidikan dapat terjadi di mana saja. Berdasarkan pengorganisasian, struktur, dan tempat terjadinya proses tersebut, dikenal adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah.  Melalui proses ini, diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. 

Selanjutnya, hasil pendidikan ini dikembalikan pada suprasistem atau lingkungan.  Di dalam lingkungan inilah, hasil pendidikan yang efektif dan efisien mengalami proses berikutnya yang langsung dapat dibuktikan.  Inilah hasil dari pendidikan ditambah dengan interaksi lingkungannya. Sistem pendidikan memperoleh  umpan balik (feed back) yang dapat digunakan sebagai bahan perbaikan dan peningkatan mutu proses pendidikan.

Berdasarkan gambaran di  atas diketahui bahwa kesinambungan tujuan pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan sekolah (formal) sangatlah penting, dan itu akan mempengaruhi  kemampuan anak didik  dalam menjalani proses pendidikan. Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan, penjabaran capaian  tujuan pendidikan melalui  kurikulum pendidikan, dengan guru/dosen dan budaya pendidikan yang mendukung menjadi sebuah keniscayaan. Kurikulum pendidikan  Islam sendiri sangatlah khas  dan unik. Hal ini tampak pada penetapan tujuan/arah pendidikan,  unsur-unsur pelaksana pendidikan, asas, dan struktur kurikulum.

1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah suatu kondisi ideal dari objek didik yang akan dicapai, yaitu ke arah mana seluruh kegiatan dalam sistem pendidikan di arahkan. Maka dari itu, sebagaimana pengertiannya, pendidikan Islam yang merupakan  upaya sadar yang  terstruktur, terprogram,  dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang
  1. Berkepribadian Islam, 
  2. Menguasai tsaqafah Islam, serta 
  3. Menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian) yang  memadai.

a. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah)
Tujuan yang pertama ini pada hakikatnya merupakan perwujudan dari konsekuensi  seorang muslim, yakni bahwa sebagai muslim ia harus memegang erat identitas kemuslimannya dalam seluruh aktivitas hidupnya.  Identitas itu menjadi kepribadian yang tampak pada pola berpikir (aqliyyah) dan  bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan  pada ajaran Islam.

Pada prinsipnya, ada  tiga langkah membentuk dan mengembangkan kepribadian Islam pada diri seseorang, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Pertama,  menanamkan  akidah Islam kepada yang bersangkutan dengan metode  tepat, yakni yang sesuai dengan kategori akidah Islam  sebagai aqidah aqliyyah (aqidah yang keyakinannya dicapai  melalui proses  berpikir). Kedua,  mengajaknya bertekad bulat untuk senantiasa menegakkan bangunan cara berpikir dan perilakunya di atas pondasi ajaran Islam semata. Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar semangatnya untuk  bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyyah dan mengamalkan dan memperjuangkannya dalam seluruh aspek kehidupannya sebagai wujud  ketaatan kepada Allah Swt.

Pendidikan, melalui berbagai pendekatan, harus menjadi media untuk memberikan dasar bagi pembentukan, peningkatan, pemantapan, dan pematangan kepribadian anak didik. Semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan (guru/dosen/karyawan, orang tua, masyarakat, bahkan sesama peserta didik), termasuk semua kegiatan yang dilakukan, baik kurikuler, ko-kurikuler, ekstrakurikuler maupun interaksi di antara komponen di atas harus diarahkan bagi tercapainya tujuan yang pertama ini.  

b. Menguasai Tsaqofah Islam
Tujuan kedua ini juga merupakan konsekuensi (lanjutan) dari kemusliman seseorang. Islam mendorong setiap muslim  untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara men-taklif-nya (memberi beban hukum) kewajiban menuntut ilmu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin,   membagi ilmu  dalam dua kategori dilihat dari sisi kewajiban menuntutnya.  Pertama, ilmu yang dikategorikan sebagai fardu a’in, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini adalah ilmu-ilmu tsaqafah Islam, yakni  pemikiran, ide dan hukum-hukum (fiqh) Islam, bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumu al-Qur’an, ulumu al-Hadits, dan sebagainya. Kedua, adalah ilmu yang dikategorikan sebagai fardu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh  sebagian  dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini  adalah sains dan  teknologi, serta berbagai keahlian, seperti  kedokteran, pertanian, teknik, dan sebagainya, yang sangat diperlukan bagi kemajuan material masyarakat.

Berkaitan dengan bahasa Arab sebagai bagian dari  tsaqafah Islam,  Rasulullah saw. telah menjadikan  bahasa ini  sebagai bahasa umat Islam yang dipakai dalam  kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan.  Karena itu, setiap muslim, termasuk yang  bukan  Arab sekalipun, wajib mempelajari bahasa Arab. Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah fi ‘Ilmi Ushul menyatakan, “Allah Swt. mewajibkan seluruh umat untuk mempelajari lisan Arab dengan tekun dan sungguh-sungguh agar dapat memahami kandungan al-Quran dan untuk beribadah.”

Dorongan kuat agar setiap muslim mempelajari tsaqafah Islamiyyah di samping sains dan teknologi,  membuktikan bahwa Islam membentengi manusia dengan menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan seorang muslim, termasuk dalam tata cara berpikir, berkehendak, sehingga setiap tindakannya dapat diukur dengan standar ajaran Islam. Hanya dengan itulah, setiap muslim memiliki pijakan yang sangat kuat  untuk maju sesuai dengan arahan Islam.

c. Menguasai Ilmu Kehidupan (Iptek dan keahlian)
Sementara itu, kewajiban menguasai ilmu kehidupan (iptek dan keahlian)  diperlukan  agar umat Islam dapat meraih kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah Swt. dengan baik  di muka bumi ini. Dorongan Islam untuk menguasai Ilmu kehidupan (iptek)   juga dapat dimengerti  dari kajian terhadap hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yakni pengetahuan yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia--sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan (aksi) tertentu--dan pengetahuan mengenai perbuatan itu sendiri.

Berkaitan dengan akal, Allah Swt. telah memuliakan manusia dengan akalnya.  Dengan akalnya, manusia dilebihkan atas seluruh makhluk ciptaan Allah Swt. Akal menjadi sesuatu yang paling berharga yang dimiliki  manusia. Allah Swt. menurunkan al-Quran dan mengutus Rasul-Nya Muhammad saw. dengan membawa risalah Islam untuk menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan tentang fungsi dan pentingnya akal.

Di samping itu, dalam banyak ayat lainnya, Allah Swt. juga menyerukan manusia untuk menggunakan akalnya, serta memanfaatkannya agar dapat memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah Swt. sehingga darinya bisa didapat sains dan aplikasinya berupa teknologi. Hal itu pun dapat membuahkan tambahan keimanan terhadap Allah Swt. terhadap keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya. Di sinilah pentingnya peranan akal manusia, di mana melalui proses pemikirannya akan mampu mengantarkan manusia pada keimanan. 

Pada sisi yang lain, akal yang demikian juga akan memacu kehendak untuk   menguasai iptek, sebab dorongan dan perintah untuk maju ternyata berasal dan sekaligus menjadi buah dari keimanan seorang muslim.  Dalam kitab al-Fathul Kabir,  misalnya, diketahui bahwa Rasul saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman  guna mempelajari teknik pembuatan senjata mutakhir yang ketika itu disebut dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasul memahami betul  manfaat senjata ini untuk  menerjang benteng lawan.

Dalam kitab al-Furusiyah (Ibnul Qoyyim), diriwayatkan bahwa Rasulullah suatu ketika melihat busur-busur panah buatan orang-orang Arab,   berkatalah beliau saw., “Dengan ini, dengan busur-busur, tombak, Allah Swt. mengokohkan kekuasaanmu di dalam negeri dan  menolong kalian atas lawan-lawanmu.” Pada saat yang lain, Rasulullah saw.  memerintahkan Asy-Syifa binti Abdullah agar mengajarkan kepada Hafshah Ummul Mukminin menulis teknik pengobatan. Rasul  juga menganjurkan kaum muslimah agar mempelajari ilmu tenun, menulis, dan merawat orang sakit (pengobatan).

2. Unsur Pelaksana Pendidikan
Berdasarkan pengorganisasian, proses pendidikan dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni   secara formal di sekolah/kampus dan secara nonformal di luar kampus-sekolah/lingkungan, yakni keluarga dan masyarakat.

a. Pendidikan di sekolah/kampus
Pendidikan di sekolah/kampus pada dasarnya merupakan proses pendidikan yang diorganisasikan secara formal berdasarkan struktur hierarkis dan kronologis, dari jenjang taman  kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Selain mengacu pada tujuan pendidikan yang diterapkan secara berjenjang, berlangsungnya proses pendidikan di sekolah/kampus sangat bergantung  pada keberadaan subsistem-subsistem lain yang terdiri atas: anak didik (pelajar/mahasiswa); manajemen penyelenggaraan sekolah/kampus; struktur dan jadwal waktu kegiatan belajar-mengajar;  materi bahan pengajaran yang diatur dalam seperangkat sistem yang disebut kurikulum; tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana yang bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan pendidikan; alat bantu belajar (buku teks, papan tulis, laboratorium, dan audiovisual); teknologi yang terdiri atas perangkat lunak (strategi dan taktik pengajaran) dan perangkat keras (peralatan pendidikan); fasilitas atau kampus beserta perlengkapannya; kendali mutu yang bersumber atas target pencapaian tujuan; penelitian untuk pengembangan kegiatan pendidikan; serta biaya pendidikan guna melancarkan kelangsungan proses pendidikan.

Berdasar sirah Rasul dan  tarikh Daulah Khilafah pendidikan formal dapat dideskripsikan sebagai berikut :
  • Kurikulum pendidikan, mata ajaran, dan metodologi pendidikan disusun berdasarkan   Akidah Islam.
  • Tujuan penyelenggaraan pendidikan  merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan.
  • Sejalan dengan tujuan pendidikan,  waktu  belajar  untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqafah Islamiyyah)  diberikan  dengan proporsi yang disesuaikan dengan pengajaran  ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian).
  • Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian) dibedakan dari pelajaran agar terbentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqafah Islamiyyah.  Materi untuk membentuk syakhsiyyah Islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar sebagai materi pengenalan, kemudian meningkat pada materi pembentukan dan pematangan setelah usia  anak didik menginjak  baligh (dewasa). Adapun materi tsaqafah Islamiyyah dan pelajaran ilmu-ilmu      kehidupan diajarkan secara bertingkat dari mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
  • Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar di seluruh jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta.
  • Materi pelajaran  yang bermuatan pemikiran, ide, dan hukum yang bertentangan dengan Islam, seperti ideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, akidah ahli kitab dan lainnya, termasuk   sejarah asing, bahasa ataupun sastra asing dan lainnya, hanya diberikan pada tingkat pendidikan tinggi yang tujuannya hanya untuk pengetahuan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
  • Pendidikan di sekolah tidak membatasi usia, yang ada hanyalah batas usia wajib belajar bagi anak-anak, yakni mulai umur tujuh tahun, berdasar pada hadis, “Perintahkanlah anak-anak mengerjakan shalat di kala mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun,  dan pisahkanlah tempat tidur mereka (pada usia tersebut pula)” (HR al-Hakim dan Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin Ash)
  • Penyelenggaraan kegiatan olahraga dilangsungkan  secara terpisah bagi murid laki-laki dan perempuan.
  • Pendidikan diselenggarakan oleh negara secara gratis atau murah. Swasta bisa menyelenggarakan pendidikan dengan syarat visi, misi, dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak keluar dari ajaran Islam.

Dalam kehidupan sekuler seperti saat ini, peran penting sekolah/kampus sangat terasa, mengingat bahan masukannya berasal dari suprasistem yang sekuler. Beban sekolah bertambah berat manakala ia pun harus mampu mensterilkan sekolah dari gempuran pengaruh negatif yang datang dari kedua suprasistem. Proses pendidikan di sekolah/kampus harus mampu menghasilkan keluaran yang Islami, bukan sekuler. Proses pendidikan seperti ini dilakukan melalui proses yang disebut small Islamic environment. Interaksi dengan suprasistem masyarakat dan keluarga tergambarkan pada bagan berikut:

Posisi Pendidikan Sekolah/Kampus terhadap Keluarga dan Masyarakat

b. Pendidikan di keluarga
Keluarga  merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama.  Pembinaan  kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam dilakukan melalui pendidikan dan pengamalan  hidup sehari-hari, serta dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, utamanya orang tua.

Itulah sebabnya, proses pendidikan dalam keluarga disebut  sebagai pendidikan pertama dan utama karena menjadi peletak pondasi kepribadian anak. Keluarga ideal berperan menjadi  wadah pertama pembinaan keislaman dan sekaligus membentenginya dari pengaruh-pengaruh negatif yang berasal dari luar. Dalam dakwah pun, sebelum  kepada masyarakat luas, seorang muslim diperintahkan untuk berdakwah terlebih dulu kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya.

Upaya pendidikan dalam keluarga, sebenarnya, telah dan harus dimulai sejak usia anak dalam kandungan hingga menginjak usia balig dan memasuki jenjang pernikahan; dan bahkan akan terus berlangsung hingga usia tua.

c. Pendidikan di tengah masyarakat
Hampir sama dengan pendidikan dalam keluarga, pendidikan di tengah masyarakat pada hakikatnya juga merupakan  proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan praktik kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di masyarakat, yakni tetangga, teman pergaulan, lingkungan, serta sistem nilai yang berjalan.

Dalam sistem  Islam, masyarakat merupakan salah satu elemen penting penyangga tegaknya sistem, selain  ketakwaan individu serta keberadaan negara sebagai pelaksana syariat Islam. Masyarakat berperan mengawasi anggota masyarakat lain dan penguasa dalam pelaksanaan hukum syariat Islam. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan Islam yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid. Lebih dari itu, masyarakat Islam memiliki kepekaan indra bagaikan pekanya anggota tubuh terhadap sentuhan benda asing. Tubuh yang hidup akan turut merasakan sakit saat anggota tubuh lain terluka, kemudian ia bereaksi dan berusaha melawan  rasa sakit tersebut hingga lenyap.  Dari sinilah  amar makruf nahi munkar menjadi bagian yang paling esensial yang sekaligus menjadi ciri distingtif (pembeda) antara masyarakat Islam dan masyarakat lainnya

Ketakwaan  individu anggota masyarakat di samping ditentukan oleh upaya pribadi, juga sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan anggota masyarakat lain dan nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam  masyarakat Islam, seseorang  yang  berbuat maksiat tidak akan berani melakukannya secara terang-terangan, atau bahkan tidak berani  melakukan sama sekali. Kalaupun ada yang tergoda untuk berbuat maksiat, ia akan berusaha  melakukan secara sembunyi-sembunyi. Begitu  sadar akan kesalahannya, ia akan terdorong segera  bertobat atas kekhilafannya dan  kembali kepada kebenaran.

Kisah Ma’iz aal-Aslami dan al-Ghamidiyah radliyallahu anhuma yang langsung menghadap Nabi saw. untuk meminta hukuman sesaat setelah berzina, merupakan contoh nyata gambaran dari ketinggian ketakwaan  individu dalam masyarakat Islam.

3. Asas Pendidikan
Islam mewajibkan  setiap muslim untuk memegang teguh ajaran  Islam dan  menjadikannya sebagai dasar dalam berpikir dan berbuat,  asas  dalam hubungan antarsesama manusia, asas bagi aturan masyarakat, serta asas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam menyusun sistem pendidikan. Penetapan akidah Islam sebagai asas pendidikan  tidaklah berarti bahwa setiap ilmu pengetahuan  harus bersumber pada  akidah Islam karena memang tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari  akidah  Islam. Yang dimaksud dengan  menjadikan akidah Islam sebagai asas atau dasar ilmu pengetahuan adalah dengan menjadikan  akidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan kata lain,  akidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur  pemikiran dan perbuatan.

Al-Quran sendiri  memuat  pemikiran dan keyakinan berbagai agama dan golongan di masa Nabi saw. Islam tidak melarang mempelajari segala macam pemikiran sekalipun bertentangan dengan akidah Islam, asal disertai koreksi dengan hujah yang kuat untuk menumbangkan pendapat yang salah itu. Ilmu tentang pendapat-pendapat yang bertentangan dengan Islam tentunya bukan sebagai suatu pengetahuan yang utama, melainkan semata-mata dipelajari untuk pengetahuan, menjelaskan kekeliruannya serta memberikan jawaban yang tepat. Hal yang dilarang adalah mengambil pemikiran-pemikiran yang salah itu sebagai pegangan hidup. Teori evolusi Darwin, misalnya, jelas bertentangan dengan akidah Islam. Perkembangan manusia tidak berawal dari hewan primata (kera), tapi, sebagaimana keyakinan  akidah Islam,  diciptakan oleh Allah dari tanah, lalu mani. Dalam  aspek sosial, teori Darwin mempengaruhi cara berpikir masyarakat bahwa yang terkuat akan tumbuh dan menang, sesuai dengan prinsip seleksi alam (prinsip “survival for the fittest”).  Paham ini memberi  andil  tegaknya  ideologi kapitalis/liberal. Dari sana,  tercetus gagasan bahwa hanya mereka yang berjuang  secara bebas sajalah yang akan mampu mencapai kedudukan yang baik secara ekonomi dan sosial.  Jadilah seseorang menjadi machiavelis, manusia yang berprinsip tujuan menghalalkan cara.

Contoh  lain yang bertentangan dengan akidah Islam adalah teori perkembangan (evolusi) materi sebagaimana  keyakinan kaum komunis.  Menurut teori ini, materi berkembang dengan sendirinya, tidak ada faktor lain yang turut campur mengadakannya ataupun menumbuhkannya. Dalam bidang biologi, dikenal dengan istilah generatio spontanea, yaitu bahwa makhluk hidup (dalam hal ini organisme sel) tercipta dengan sendirinya.   Tuhan  tidak ada.

Pengetahuan mengenai ide-ide yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti contoh-contoh  tersebut di atas, tidak boleh diajarkan begitu saja karena akan berpotensi merusak akidah, kecuali disertai dengan penjelasan mengenai kesalahannya agar orang tidak  meyakininya.

4. Struktur Kurikulum
Kurikulum pendidikan Islam di sekolah/kampus dijabarkan dalam tiga komponen utama, yaitu :
  1. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah (Kepribadian Islami), 
  2. Tsaqafah Islam, dan 
  3. Ilmu Kehidupan (Iptek dan  keahlian).
Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini, selain muatan penunjang proses pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah yang secara menerus  diberikan pada tingkat TK–SD dan SMP – SMU – PT,  muatan tsaqafah Islam dan Ilmu Kehidupan (Iptek dan keahlian) diberikan secara bertingkat sesuai dengan kesiapan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik  berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

Tabel Struktur dan Performa Komponen Kurikulum

JENJANG PENDIDIKAN
  • TK
  • SD
  • SMP
  • SMU
  • PTKOMPONEN
  • MATERI Pembentukan
  • Syakhsiyyah Islamiyyah Pembentukan
  • PematanganDasar-dasar
  • Tsaqafah Islam54321
  • Ilmu Kehidupan
  1. Iptek /keahlian
  2. Keterampilan54321

Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD),  penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Yang  termasuk ke dalam materi dasar ini, antara lain pengenalan al-Quran dari segi hafalan dan bacaan; prinsip-prinsip agama; membaca; menulis dan menghitung; prinsip-prinsip bahasa Arab; menulis halus; sirah Rasul dan Khulafaur Rasyidin, serta berlatih berenang dan menunggang kuda (menyetir mobil?).

Khalifah Umar bin Khattab dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya menulis,  “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan santun dan syair-syair yang baik.”  Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalby, guru anaknya: “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku, saya percayakan padamu mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah.  Adapun yang pertama-tama saya wasiatkan kepadamu adalah agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hafalkan kepadanya al-Qu’an,…”

a. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah
Pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan  sesuai dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah dengan menyampaikan tsaqafah Islam kepada para siswa/mahasiswa.  Hal ini seperti tampak pada Tabel  Struktur dan Performa  Komponen Kurikulum,   pada tingkat TK hingga SD materi Syakhsiyyah Islamiyyah yang diberikan adalah Materi Dasar. Dalam hubungan ini mengingat anak didik berada pada  usia menuju balig sehingga lebih banyak diberikan materi yang bersifat pengenalan untuk menumbuhkan keimanan.

Setelah mencapai usia balig, yakni pada  SMP, SMU, dan PT, materi yang diberikan bersifat lanjutan (Pembentukan, Peningkatan, dan Pematangan).  Hal ini  dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus meningkatkan keimanan, serta keterikatan akan syariat Islam.  Indikatornya adalah bahwa anak didik dengan kesadarannya mampu  melaksanakan  seluruh kewajiban dan mampu menghindari seluruh larangan Allah.

Tabel   Pendekatan Terpadu Pembentukan Syakhshiyyah Islamiyyah
  • No. JENIS
  • PENDEKATANIMPLEMENTASIMATERI
  • INDUKPELAKSANA1.Formal
  • StrukturalDilakukan melalui kegiatan tatap muka formal  dalam kegiatan belajar mengajar resmi
  • Tsaqafah IslamGuru2.Formal- nonstrukturalDilakukan melalui proses pencerapan nilai-nilai Islam  dalam setiap mata ajar yang diberikan  kepada siswa, di antaranya melalui internalisasi nilai tauhid
  • IptekGuru3.KeteladananDiberikan dalam wujud contoh nyata amaliyah harian (akhlak & ibadah) di lingkungan sekolahTsaqafah Islam
  • Guru, Pengelola pendidikan4.Penerapan budaya sekolah (school culture)

Diterapkan  melalui  pengamalan syariat Islam secara nyata, baik menyangkut  akhlak, ibadah, pergaulan, kebersihan, maupun hal  lain,  yang ditunjang dengan proses pembiasaan dalam  penerapan aturan beserta sanksinyaTsaqafah Islam dan penerapan aturan sekolahGuru,  Pengelola Pendidikan5.Pembinaan pergaulan antarsiswaDilakukan dalam suasana ukhuwah Islamiyyah  dengan  standar kepribadian Islam, antara lain saling menyayangi dan menghormati, serta saling mengingatkanTsaqafah Islam dan penerapan aturan Guru, Pengelola Pendidikan dan siswa6.Amaliyah ubudiyah harian Dilakukan dengan pembiasaan shalat berjamaahTsaqafah Islam Dan penerapan aturan Guru, Pengelola pendidikan dan siswa Tabel   Indikator Kematangan Syakhshiyyah Islamiyyah Siswa

E. KOMPONENASPEKURAIAN INDIKASI
  • AQLIYYAH Memahami akidah Islam dan menjadikanya sebagai landasan berpikir AFKAR (pemikiran) & ARA’
  • (pendapat)AkidahMemahami dan mengimani seluruh perkara akidah Islam.SyariatMemahami  pemikiran  syariat Islam.Problem umatMemahami  problem umat dan ide-ide yang bertentangan dengan Islam. DakwahMemahami ihwal kewajiban dakwah dan thariqah dakwah Rasul saw. AHKAM (hukum)Ibadah
  • Memahami  hukum Islam yang berkaitan dengan ibadah, halal dan haramnya makanan dan minuman, pakaian, akhlak, muamalah (aspek ekonomi, sosial, pemerintahan), uqubah Makanan / MinumanPakaianAkhlakMuamalahUqubahNAFSIYAH Menjadikan syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatanIbadahSelalu melaksanakan ibadah dengan khusyu’ sesuai syariat Makanan/
  • MinumanSelalu mengonsumsi makanan dan minuman halalPakaianSelalu menutup aurat.AkhlakSelalu menampakkan akhlakul karimah, giat menuntut ilmu dan memiliki etos berprestasiMuamalahSelalu bermuamalah secara Islam.DakwahBersedia terlibat dalam dakwah bagi tegaknya kembali izzul Islam wa al-muslimin.

b. Tsaqofah Islam
Tsaqafah Islam adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasar akidah Islam, yang sekaligus menjadi sumber peradaban Islam. Materi ini diberikan di seluruh jenjang pendidikan secara proporsional.  Materi yang diberikan adalah:
  •  Aqidah Islamiyyah
  • Pemikiran Islam
  • Bahasa Arab
  • Ushul Fiqih
  • Akhlak
  • Fiqh muamalah
  • Sirah Nabawiyah
  • Dakwah Islamiyyah
  • Ulumu dan tahfidzu al-Qur’an Ulumu dan tahfidzu al- Hadits
  • Fiqih Fardiyah (ibadah, makanan, minuman dan pakaian)

Materi tsaqafah Islam sebagaimana digambarkan pada Tabel  Struktur dan Performa  Komponen Kurikulum,   diberikan secara bertingkat sesuai dengan tingkat kemampuan dan  daya serap anak didik dari tingkat TK hingga  PT.  Sebagai contoh,  target materi tahfidzu al-Qur’an  untuk tingkat SD adalah, misalnya, 5 juz,  SMP sebanyak 2,5 juz, SMU sebanyak 2,5 juz, sedang di PT diutamakan menghafal ayat-ayat yang terkait erat dengan bidang ilmu yang ditekuninya.  Adapun materi Ulumu al-Qur’an  semakin mantap diberikan pada tingkat  SMP sebagaimana  materi  Ulumu al-Hadist.  Materi  Ushul Fiqh mulai diberikan pada tingkat  SMU.

Materi Sirah yang diberikan mulai tingkat SD lebih bersifat pengenalan dasar yang dimaksudkan untuk membina dan mencerapkan nilai-nilainya.  Barulah pada tingkat SMP, materi ini  difokuskan  lebih tematik, misalnya dengan tema khusus peperangan,  dakwah, dan lainnya.

c. Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian)
Muatan  yang ketiga ini diberikan secara bertingkat sesuai dengan perkembangan kemampuan anak. Di jenjang pendidikan tinggi,  pengajaran ilmu ini lebih terfokus.

5. Dana, Sarana, dan Prasarana
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah –sebagaimana disarikan oleh al- Baghdadi (1996) dalam Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, negara memberikan pelayanan  pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan. Dana pendidikan ditanggung negara yang diambil dari kas baitul maal. Sistem pendidikan bebas biaya dilakukan oleh para sahabat (ijma’), termasuk pemberian  gaji yang sangat memuaskan kepada para pengajar yang diambil dari baitul maal.

Sebagai contoh, Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntashir di kota Baghdad. Di sekolah ini, setiap siswa menerima beasiswa sebesar satu dinar (4,25 gram emas).  Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya. Fasilitas seperti perpustakaan, bahkan rumah sakit dan pemandian tersedia lengkap di sana.  Begitupun dengan  Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain, seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar,  tempat peristirahatan untuk siswa, staf pengajar dan para pelayan, erta ruang besar untuk ceramah.  Khalifah Umar Ibnu Khattab jauh sebelum itu, memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan.


F. LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI MASA LALU

Di zaman pemerintahan Islam, paling tidak semenjak tahun 4 H telah banyak dibangun  sekolah Islam.  Akan tetapi, sebelum sekolah semodel itu dikembangkan, pendidikan ketika itu dilakukan di dalam masjid, majelis-majelis taklim, dan tempat-tempat pendidikan lainnya.  Muhammad Athiyah Al Abrasi dalam Dasar-dasar Pendidikan Islam, memaparkan usaha-usaha para khalifah untuk membangun sekolah-sekolah itu. Dalam perkembangannya, setiap khalifah  terus membangun sekolah tinggi Islam dan berusaha melengkapinya dengan sarana dan prasarananya. Pada setiap sekolah tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium, gedung pertemuan), asrama penampungan mahasiswa, perumahan dosen, dan ulama.  Selain itu, sekolah tinggi tersebut juga dilengkapi kamar mandi, dapur, dan ruang makan, bahkan juga taman rekreasi.

Di antara sekolah-sekolah tinggi yang terpenting adalah Madrasah Nidzamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah an-Nashiriyah di Kairo. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang terbaik adalah Madrasah Nidzamiyah.  Sekolah ini, akhirnya, menjadi standar bagi daerah lainnya di Irak, Khurasan (Iran), dan lainnya.

Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad didirikan oleh Khalifah al-Mustanir pada abad ke – 6 Hijriah. Sekolah ini memiliki sebuah auditorium dan perpustakaan yang sangat lengkap.  Selain itu, madrasah ini juga dilengkapi dengan pemandian, rumah sakit yang dokternya siap di tempat. Madrasah lain yang juga cukup terkenal adalah Madrasah Darul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh Khalifah al-Hakim Biamrillah pada tahun 395 H.  Madrasah ini adalah institut pendidikan yang dilengkapi perpustakaan dan sarana serta prasarana pendidikan lainnya. Perpustakaan dibuka untuk umum.  Setiap orang boleh mendengarkan kuliah, ceramah ilmiah, simposium, aktivitas kesusastraan, dan telaah agama.  Di perpustakaan ini, seperti juga pada perpustakaan  lainnya, dilengkapi ruang-ruang studi dan ceramah serta ruang musik untuk refreshing  bagi pembaca.


G. KENDALA
Model pendidikan atau sekolah unggulan seperti itu jelas hanya dapat diterapkan oleh negara karena hanya negaralah yang memiliki otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana, prasarana yang memadai, serta sumber daya manusia yang bermutu. Dalam membangun model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam saat ini, tentu saja akan menghadapi kendala utama, yaitu belum diterapkannya bangunan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


H. UPAYA

Mengingat kendala di atas, tahap pertama bisa ditempuh dengan aksi individual atau kelompok  yang  dibenarkan oleh hukum syara’ dan memenuhi persyaratan sebagai lembaga pendidikan Islam, dari mulai asas kurikulumnya hingga operasionalisasi  pendidikan keseharian. Tahap berikutnya, secara simultan dengan tahap pertama tadi, harus diperjuangkan tegaknya  sistem pendidikan Islami oleh negara sebagai bagian dari sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tahap pertama perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bermutu bagi anak-anak Islam sekarang ini, yang diharapkan dapat berdiri sebagai pondasi penting bagi pembentukan kepribadian Islam dalam dirinya dalam rangka tumbuhnya tunas-tunas Islam yang amat diperlukan bagi dakwah. Akan tetapi, kegiatan ini tidak boleh melupakan agenda besarnya,  yaitu perjuangan penegakan kehidupan Islam yang di dalamnya seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk di bidang pendidikan, diatur syariat.  Hanya dengan cara itulah, kerahmatan syariat dapat benar-benar diwujudkan. Insya Allah.


Demikian sedikit penjelasan seputar "Syariat Islam dalam Pendidikan" yang bisa saya himpun dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan dapat membantu anda. Wassalam.

Kumpulan Makalah yang lainnya lihat   DISINI



Cpx24.com CPM Program

0 Komentar:

Post a Comment

Pemberitahuan :
Mohon maaf apabila komentar Sobat dari Facebook tidak bisa saya jawab semua, dikarenakan sulit untuk memoderasi komentar dari Facebook, bila sobat ada pertanyaan yang ingin lansung saya jawab, silakan Sobat berkomentar dari id Blogger.

** Jika anda terbantu dengan apa yang ada di blog ini jangan lupa untuk IZIN COPAS dan Ucapan Terimasih pada kotak komentar di bawah.**



close
Chat