MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN IDENTITAS NASIONAL (BAGIAN 1)

Tuesday, March 18, 2014

print this page
send email

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi  suatu  bangsa  pada  era  globalisasi  dewasa  ini  mendapat tantangan  yang  sangat  kuat,  terutama  karena  pengaruh  kekuasaan internasional. Menurut Berger  dalam  The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah  mengubah  masyarakat  satu  persatu  dan  menjadi  system  internasional  yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa  di dunia, dan secara tidak  langsung  juga  nasib,  social,  politik  dan  kebudayaan  (Berger,  1988). Perubahan  global  ini  menurut  Fukuyama  (1989  :  48),  membawa  perubahan suatu  ideologi,  yaitu  dari  ideologi  partikular  kearah  ideologi  universal,  dan dalam kondisi seperti ini, kapitalismelah yang akan menguasainya.

Oleh  karena  itu,  agar  suatu  bangsa  khususnya  bangsa  Indonesia  tetap eksis  dalam  menghadapi  globalisasi  maka  harus  tetap  meletakan  jatidiri  dan   identitas  nasional  yang  merupakan  kepribadian  bangsa  Indonesia  sebagai  dasar  pengembangan  kreatifitas  budaya  globalisasi.  Sebagaimana  terjadi  di berbagai  negara di dunia,  justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang  cenderung  menghancurkan  nasionalisme,  muncullah  kebangkitan kembali kesadaran nasional.


B. Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian identitas?
  2. Apa pengertian nasional/nasionalisme?
  3. Bagaimana identitas nasional?

C. Tujuan Makalah
Sebagai  media  untuk  menambah  wawasan  dan  pengetahuan  mengenai identitas bangsa Indonesia  -  Sebagai  salah  satu  cara  belajar  yang  lebih  fariatif  agar  tidak   menimbulkan  kejenuhan  dalam  proses  belajar,  dengan  cara  mencari dan menganalisis  informasi  dari  berbagai  sumber  dan  mengelolanya  untuk dalap dijadikan pengetahuan tambahan.


D. Prosedur Penulisan
Dalam  pengumpulan  data  atau  keterangan-keterangan  yang  diperlukan dalam  menyusun  makalah  ini,  penyusun  menggunakan  metode  studi  pustaka  yaitu  metode  pengumpulan  data  dengan  cara  belajar  di  perpustakaan  dengan jalan  mengumpulkan catatan  yang  ada hubungannya dengan masalah-masalah yang ditulis.


BAB II
IDENTITAS NASIONAL

A. IDENTITAS

1. Pengertian Identitas
Secara etimologis,identitas  berasal  dari  kata “identity” yang  memiliki arti  harfiah:  ciri,tanda,atau  jati  diri  yang melekat  pada  seseorang,kelompok  atau  sesuatu  sehingga  membedakan  dengan  yang  lain.  Dengan  demikian identitas  berarti  ciri-ciri,  tanda-tanda  atau  jati  diri  yang  dimiliki  seorang kelompok,  masyarakat  bahkan  suatu  bangsa  sehingga  dengan  identitas  itu bisa membedakan dengan yang lain.

Dalam  terminologi  antropologi,  identitas  adalah  sifat  khas  yang  menerangkan  dan  sesuai  dengan  kesadaran  diri  pribadi  sendiri,  golongan  sendiri, kelompok  sendiri, komunitas sendiri, atau  negara  sendiri.  Mengacu pada  pengertian  ini  identitas  tidak  terbatas  pada  individu  semata,  tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.

Identitas  bagi  kebanyakan  orang  adalah  selembar  kartu  nama  yang mengukuhkan  keberadaan  mereka  dengan  sebuah  nama,  profesi  dan kedudukan.  Memperhatikan  khaos  yang  terjadi  selama  sepuluh  tahun terakhir,  saya  merasa  ada  perlunya  untuk  mendalami  makna  identitas.  Karena identitas  ternyata adalah biang yang memporakporandakan  berbagai   negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan  memposisikan manusia  yang paling  tidak  politis  sekali  pun  di  satu  sudut  ruang  berseberangan  dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik.  Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah  terjadi  sejak  kita  dilahirkan.  Tanpa  kita  sadari  ketika  kita  dilahirkansebuah  predikat  langsung  melekat  pada  keberadaan  kita.  Nama  kita mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.

Identitas  adalah  sebentang  Mobius  yang  melilit.  Di  satu  sisi,  ia mengukuhkan  kebersamaan  satu  kelompok,  keselarasan  visi  dan  ambisi, namun atas  atas  nama  kemajuan,  prestasi  dan  kebersamaan, ia  juga  mampu secara  brutal menghancurkan pihak  yang dinilai mengancam  azas-azas yang mengukuhkan  kelompoknya.  Tindakan  anarkis  dianggap  sah  karena  ia membela kedaulatan  kelompok.  Tak  ayal lagi,  inilah insting  survival  purba yang kita wariskan dari  leluhurkita sejak zaman Neolitik.  Sebaliknya,  kita  bisa  memaknakan  identitas  dengan  parameter  yang   lebih  luas.  Identitas,  menurut  Amin  Maalouf,  sekaligus  inklusif  dan  eksklusif.  Sebagai  contoh,  sebagai  warga  Indonesia  beretnis  Cina,  maka  saya  dianggap  warga  minoritas.  Tetapi  sebagai  anak  turunan  Cina,  saya termasuk  golongan  warga  terbesar  di  dunia.  Perbedaan  perspektif  ini  tergantung  dari  sudut  referensi  mana  kita  meneropong  kedudukan  kita. Sebaliknya,  sebagai  anak  turunan  Cina,  dilahirkan  di  Tebing  Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film  tentang  seorang  pegawai  kecil  di  bagian  arsip  dan  bermukim  di   kawasan  Lebak  Bulus, saya  menjadi  sangat unik,  karena  tidak  ada manusia lain  selain  saya  yang  menyandang  predikat  seperti  ini.  Tetapi  kalau  kita   meneliti  ini  lebih  dalam,  maka  kita  akan  menyimpulkan  bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara  keseluruhan murni, karena  ia juga  bermuatan  berbagai  elemen  eksklusif  yang  bertautan  dengan  berbagai manusia, lepas dari  kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh,  saya  berbagi  satu  hobi  membaca  dengan  berjuta-juta  manusia  lain.  Saya juga  punya  kesamaan  seperti  mereka  yang  suka  bakmi,  tahu,  ataupun  kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.Perumpamaan  di  atas  secara  gamblang menunjukkan  betapa  fleksibel   sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro,  keberadaan kita mau tidak mau bertautan  dengan  begitu  banyak  manusia  dari  latar  yang  berbeda-beda  dan tidak  terbatas  oleh  demarkasi  lokasi  ataupun  bangsa.  Ironisnya,  secara individu  pun  kita  tidak  mungkin  dikelompokkan  dalam  satu  kelompok karena  pada  dasarnya   kita  semua  sangat  berbeda.  Ini  terbukti  beberapa  waktu  yang  lalu  oleh  penelitian  proyek  genome  manusia,  di  mana ditegaskan  bahwa  DNA  manusia  adalah  sebuah  keajaiban  dari  ribuan  permutasi yang  sama  sekali  tidak  mungkin direplikasi. 

DNA  kita  ibaratnya hasil  dari   sekali  tekanan  tombol  mesin  jackpot  dengan  ratusan  ikon  yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama,  sama sekali tidak ada.  Ilmu  pengetahuan  yang  tadinya  kita  harapkan  sebagai  bintang penyelamat  untuk  membebaskan  kita  dari  ortodoksi  identitas,  ternyata malah  membuat  kita  semakin  terjerumus  dalam  jurang  pemisah. Pengetahuan,  menurut  Michel  Foucault,  hanya  bisa  membangkitkan  lebih banyak  pengetahuan.  Michel  Foucault  memberi  contoh  seperti  ini:  seorang  dokter  yang  kena  flu  tahu  bagaimana  mengobati  dirinya  dengan  memilih obat yang  tepat, tapi  untuk kesehatan jiwanya  ia  tidak  mampu memberikan  preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih  dari  obat,  ia  perlu  melakukan  pelatihan-pelatihan  “  tehkne  tou  biou”  untuk  mencapai  satu  titik  konversi  “metanoai”.  Tehkne  tou  biou  ini  bukan sebuah  antidote,  seperti  antidote  untuk  flu,  tetapi  sebuah  perjalanan spiritualitas  yang  perlu  ditekuni  dalam  hidup  masing-masing.  Pengetahuan dalam  hal  ini  tidak  mampu  banyak  membantu,  karena  ia  justru  mengakibatkan  kita  terperangkap  dalam  sejarah,  tradisi  dan  segala  embel- embel  kepurbaan  yang  semakin  mengikat  kita  pada  satu  identitas.  Ia  tidak mendorong  kita  untuk  lebih  mendekat  pada  realitas  kehidupan  dalam  arti  sebenarnya. Alain  Badiou  dalam  bukunya  Ethics  mengupas  apa  yang  disebutnya sebagai  akronim  usang.  Seperti  kata-kata  Keadilan,  Demokrasi,  Cinta,  dan dalam  hal  ini  Identitas  juga  bisa  kita  masukkan  dalam  deretan  akronim abstrak  ini.  Sebagai  sebuah  term  kata  Identitas  seperti  juga  Keadilan  tidak punya  makna  yang  konkret.  Karena  ia  hanya  sebuah  term  abstrak.  Badiou ingin  menjelaskan  kepada  kita  bahwa  ketika  sebuah  kegiatan  dibakukan     menjadi  sebuah  simbol  ia  kehilangan  makna  aslinya.  Ketika  kita mengatakan  Keadilan   maka  makna  asli  dari  kata  itu,  yaitu  berlaku  adil,  segera  kehilangan  makna  aslinya. 

Kita  tenggelam  dalam  sebuah  semesta  makna  yang  begitu luas sehingga keaslian  makna itu sendiri  menjadi kabur.  Kita  lupa  bahwa  Identitas  berangkat  dari  kata  kerja  yang  punya  makna   memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang  lain,  atau  menyatukan diri dengan  orang  lain.  Dengan  kata  lain,  dengan  merangkul  kata  identitas  kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu. Identitas  juga  bercermin  pada  Yang  Lain  (The  Other).  Ia  tidak  bisa  lepas  dari  pengakuan/pengukuhan  orang  lain.  Identitas  manusia  selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal  ini  terkandung  kesemuan  yang  menjadi  kenyataan  ketika  kita mengkonfirmasi  predikat-predikat  dari  orang  lain.  Ini  paradoks  yang  kita bawa  dari  lahir  yang  akan  terus  melekat  kecuali  kita  melakukan  sesuatu untuk  membebaskan   diri  dari  tirani  penafsiran  Yang  Lain. 

Dari  penelitian  proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti  orang  lain,  sekalipun  kita  berusaha  keras.  Keunikan  setiap  individu sekaligus  adalah  kekuatan  diri dan kelemahannya.  Kekuatan karena dengan  memahami  keunikan  itu  kita tidak  tergoyahkan  oleh penafsiran  Yang  Lain. Kelemahannya  adalah  ketika  kita  berupaya  untuk  mengukuhkan  identitas itu.
 Seperti  jalan  menuju  kesejahteraan  jiwa  harus  melewati  tehkne  tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu  bekerja  keras.  Langkah  pertama  adalah  membebaskan  diri  dari  identitas.  Manusia  bebas  identitas  tidak  memandang  perbatasan  negara, perbedaan  suku  atau  pun  kepercayaan  sebagai  jurang  pemisah.  Karena   manusia  pada  dasarnya  terikat  dalam  kebersamaan  yang  tak  terelakkan,  yaitu  sebagai  kelompok  manusia  berakal  sehat  dengan  nilai-nilai  kebaikan  hakiki,  mengemban  visi  yang  sama,  yakni  dunia  yang  lestari  dan  damai. Dunia  tanpa  perbatasan  dan  identitas  memungkinkan  manusia  untuk berpadu  dalam  satu  komunitas  dunia,  bahu  membahu  menyelesaikan persoalan  satu  kasus  demi  satu  kasus,  tidak  saling  menyalip  demi kepentingan  bangsa,  suku  mau  pun  kepercayaan  masing-masing.  Alain Badiou  menyimpulkan  dengan  elegan,  “Satu  bertaut  dalam  Dua. Kebersamaan  berada  dalam  pergelutan  perbedaan.†  Ungkapan  ini  mengingatkan  kita  bahwa  yang  perlu  kita  lakukan  bukan  menyatu  dengan  orang  banyak  tetapi  berusaha  keras  untuk  mengembangkan  simpati  dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari  satu  individu  ke  individu  yang  lain.  Tanpa  baliho  yang  meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.

Imajinasi  juga  sangat  berperan  dalam  pendekatan  kita  pada  Yang Lain.  Dalam  novelnya  Identity,  Milan  Kundera  memberi  sebuah  contoh bagaimana  paras  seseorang  yang  tak  dikenal  di  sebuah  kafe  meninggalkan  impresi yang begitu dalam pada tokoh  utama novel sehingga  ia berkembang  dan  menjadi  seorang  karakter  yang  terasa  begitu  akrab,  seperti  seseorang yang  sudah  dikenalnya  selama  bertahun-tahun.  Melalui  imajinasi,  simpati dan  empati  kita  akan  terpicu,  terlepas  dari  belenggu  pradugaan  dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.


2. Pentingnya Sebuah Identitas
 Identitas  adalah  simbolisasi  ciri  khas  yang  mengandung  diferensiasi dan  mewakili  citra  organisasi.  Identitas dapat  berasal  dari sejarah,  visi  atau  cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Berbicara mengenai identitas   sebenarnya  itu  adalah  sebuah  definisi  diri  dan  itu  bisa  di  berikan  oleh  orang  lain  atau  kita  yang  memberikanya.  Pelacakan  identitas  akan menerangkan  tentang  siapa  kita,  karena  pelacakan  identitas  adalah  upaya pendefinisian diri. Baik definisi dari orang lain maupun dari kita sendiri. Ketika kita berbicara identitas maka mau tidak mau kita harus melihat ke  masa  lalu,  di  dalam  konteks,  identitas  itu  bukanlah  sebuah  proses  produksi  di  ruang  vakum  tetapi   di  dalam  relasi-relasi  kita  dengan  orang lain.  Kemudian  kemajemukan  adalah  yang  mencerminkan  ketinggalan  diri, definisi  siapa  kita  dan  yang  bukan  kita   adalah  definisi  yang  di  lakukan    sendiri  dan  definisi  diri  yang  di  nisbahkan  oleh  pihak  lain  yang  berelasi dengan kita. 

Cara  kita  mendefinisikan  diri  akan  sangat  berpengaruh  terhadap  pikiran,  tindakan  dan  keputusan  yang  kita  ambil.  Cerita  menarik  yang beredar  di  internet menceritakan  tentang  seekor  anak  elang  yang dipelihara dan  dibesarkan  keluarga  ayam.  Tentu  saja  keluarga  ayam  ini  mengajarkan kepada  sang  anak  elang tentang  segala  sesuatu  yang  menyangkut  ke-ayam-  an,  antara  lain  ayam  memakan  biji-bijian,  ayam  tidak  bisa  terbang  tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja. Pada suatu  waktu,  si  anak  elang  ini melihat  burung elang yang  gagah  melintas  di  angkasa.  Dengan  decak  kagum,  sang  anak  elang  berkata, “Alangkah  gagah  dan  anggunnya  burung  itu.”  Lalu,  keluarga  ayam  yang mendengar  komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung  elang.  Ia  memang  memiliki  kemampuan  untuk  terbang tinggi  di angkasa. Sedangkan kita  adalah  ayam.  Ayam  hanya  bisa  terbang  rendah  dan  tak  akan  pernah terbang tinggi seperti elang.  Singkat  kata,  sang  anak  elang  menerima  bulat-bulat  apa  yang diajarkan  keluarga  ayam.  Ia  akhirnya  mendefinisikan  dirinya  sebagai  anak ayam.  Karena  ia  mendefinisikan  diri  sebagai  anak  ayam,  ia  pun  berpikir,  berlaku,  dan  bertindak  seperti  anak  ayam.  Sampai  akhir  hayat  sang  anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai  definisi  yang  diyakininya.  Coba  bayangkan,  apa  yang  terjadi  jika sang  anak  elang  ini  mencoba  mengoptimalkan  kemampuannya  seperti  impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya. Dari  ilustrasi  diatas  kita  bisa  mendapatkan  beberapa  pelajaran berharga  mengenai  pengaruh  definisi  identitas  diri  yang  kita  yakini.  Cara kita mendefinisikan identitas kita akan menentukan masa depan kita melalui  cara  kita  berpikir  dan  cara  kita  bertindak.  Definisi  identitas  diri mempengaruhi  cara  kita  berpikir.  Sang  elang  yang  mendefinisikan  diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir dan bertindak seperti anak ayam.

Dalam  pemilu  legislatif  yang  baru  saja  berlangsung  di  Indonesia, kebanyakan  rakyat  belum  mampu  menidentifasikan  diri  mereka  sebagai pemegang  kedaulatan.  Pada  pemilu  kali  ini,  identitas  yang  terbentuk  di  wajah  rakyat  adalah  sebagai penjual  kedaulatan,  hal tersebut  terindikasikan melalui  banyaknya  kasus  money  politik.  Secara  bahasa  sederhana  money  politik  dipersepsikan  sebagai  politik  uang.  Di  sini  ada  dua  dimensi,  yakni politik dan uang. Politik  selama ini diorientasikan  pada kekuasaan dan  uang  dipersepsikan   sebagai  salah  satu  kekuatan  yang  berbasis  material.  Artinya politik  uang  merupakan  manifestasi  dari  upaya  merebut  kekuasaan  lewat  jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini  adalah  proses penentuan  pemenang  kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional  namun  dengan  dengan  pertimbangan  pragmatisme.  Di  sinilah kemudian stigma negatif melekat dalam persoalan money politik.  Jika legislatif yang ihasilkan melalui mekanisme jual beli suara maka akan hadir para politisi yang mengidentifikasikan dirinya  sebagai  pedagang. Modal  yang  mereka  keluarkan  kepada  rakyat  harus  kembali  dalam  jangka waktu  tertentu  dan  harus  bertambah  karena  begitulah  identitas  pedagang,  kemudian  lahirlah  apa  yang  dinamakan  politik  dagang  sapi.  Entah  siapa yang  memulai  istilah  tersebut,  tapi  ketika  kita  mendengar  dan  mencoba memahami  ternyata politik dagang sapi  itu merupakan  cara untuk bagi-bagi kedudukan  dalam  kabinet.  Presiden  dan  Wakil  Presiden  yang  tepilih  nanti  merupakan  pilihan  rakyat langsung,  karena itu  mereka memperoleh mandat yang  penuh  dari  rakyat  sebagai  pemilih.  Karena  itu  mereka  mempunyai kedudukan  yang  lebih  kuat  dari  pilihan  anggota  MPR.  Akan  tetapi  dalam sistim  yang  berjalan  presiden  serta  pemerintah  yang  dipimpinnya  harus  bekerjasama dengan DPR. Dengan demikian pemerintah yang akan disusun oleh persiden terpilih harus  pandai-pandi  bekerja  sama  dengan  DPR  agar  program-program mereka  disepakati  DPR  sebelum  dapat  dilaksanakan.  Sebaik  apapun  program  yang  diusulkan,  kalau  DPR  tidak  menyetujuinya,  apapaunalasannya, maka  program  tersebut  tidak  dapat  dilaksanakan dan pemerintah   tidak  efektif  menjalankan  mandat  yang  diemban  dari  pemilih.  Di  dalam  media  sudah  banyak  diberitakan  bahwa  negosiasi  antar  berbagai  partai capres  dalam  meminang  cawapres  sekaligus  melakukan  tawar  menawar mengenai pembagian kursi dalam kabinet yang akan datang. 

Maka  harapan  akan  perbaikan  kesejahteraan  rakyat  yang  berjalan beriringan  dengan  demokratisasi  nampaknya  hanya  angan-angan,  karena tidak ada eksekutif dan legislatif yang memikirkan hal  tersebut.  Jadi, selagi kedaulatan  itu  masih  berada  di  tangan  rakyat,  mengidentifikasi  diri kemudian  melakukan  tindakan  yang  tepat  untuk  mempergunakannya  demi kesejahteraan  dalam  jangka  waktu  lima  tahun  kedepan  harus  menjadi perhatian serius agar tidak menyesal dikemudian hari.


3.  Identitas,  fungsi  dan  peranan  sosial  manusia  (terjadinya  interaksi sosial)
  • Manusia sebagai makhluk individu
  • Manusia sebagai makhluk sosial
  • Manusia sebagai makhluk berketuhanan
Untuk mengemban ketiga  fungsi, identitas dan peranan sosial tersebut manusia  mempunyai  dorongan  atau  motif  untuk  mengadakan  hubungan dengan  dirinya sendiri,  dengan  orang  lain dan dengan  tuhannya.  Hal  inilah yang  mendasari  terjadinya  interaksi  antara  manusia  yang  satu  dengan manusia yang lainnya. Pengertian  interaksi  sosial  :  Hubungan  timbal  balik  yang  saling mempengaruhi  antara  seseorang  dengan  orang  lain  dalam  situasi  sosial tertentu.  Di  dalam  proses  interaksi  sosial  ini  juga  berlangsung  proses berimbang dan berkesinambungan ( adaptif social relationship ).


4. Syarat terbentuknya interaksi sosial :
  1. Komunikasi sosial
  2. Kontak social

5. Dasar terjadinya interaksi sosial :
  • Interaksi  sosial  didasari  oleh  adanya  kebutuhan  (  motivasi  )  sosial  dankebutuhan individual.
  • Abraham Maslow ( Hierarchi Need Theory )
  1. Kebutuhan fisiologis ( fisiological needs )
  2. Kebutuhan rasa aman ( safety needs )
  3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang ( love and belonging needs )
  4. Kebutuhan penghargaan diri ( self esteem needs )
  5. Kebutuhan aktualisasi diri ( need of self actualisation )
  • David Mc Clelland o  Need for Power ( Motiv berkuasa )
    1. Need for affiliation ( motif berkumpul / berserikat )
    2. Need for achivement ( motif berprestasi / menjadi yang terbaik )
Semua  kebutuhan  dan  motif  tersebut  akan  terpenuhi  bila  manusia mampu  membangun  kontak  sosial  dan  mengembangkan  komunikasi  sosial sehingga  terbentuk  interaksi  sosial  dan  akhirnya  mewujud  dalam  social relationship.


6. Faktor Pengarah terbentuknya interaksi sosial
  • Faktor  Imitasi  :  (  Gabriel  Trade  ),  seluruh  kehidupan  sosial  itu sebenarnya  berdasarkan  faktor  imitasi  saja.  Imitasi  dorongan  untuk meniru orang lain.
  • Fakroe  sugesti  :  sugesti  berlangsung  jika  seseorang  memberikan pandangan atau sikap dari dirinya kepada orang lain dan diterima.
  • Faktor identifikasi
  • Faktor Simpati


B. NASIONAL

Nasional  atau  Nasionalisme  adalah  pilar  utama  dalam  berbangsa  dan bernegara.  Sebuah negara  yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme  yang kokoh,  akan  menjadi  rapuh,  kemudian  runtuh,  dan  akhirnya  tinggal  sejarah. Kejayaan  Bangsa  Romawi,  Mesir  Kuno,  Yunani  Kuno,  Mongol,  Andalusia, Ottoman,  Majapahit,  Sriwijaya,  Gowa,  dan  Mataram,  kini  hanya  tinggal kenangan  yang  bisa  kita  ketahui  melalui  buku  sejarah  dan  sisa-sisa peninggalannya. Tentu  kita  tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu. Nasionalisme  awalnya  berkembang  di  Eropa.  Pada  akhir  abad  18  di Eropa mulai berlaku suatu paham bahwa setiap bangsa harus  membentuk suatu Negara  sendiri  dan  bahwa  Negara  itu  harus  meliputi  seluruh  bangsa  masing-masing.  Kebanyakan  bangsa-bangsa  itu  memiliki  faktor-faktor  obyektif  tertentu  yang  membuat  mereka  berbeda  satu  sama  lain,  misalnya  persamaan keturunan, persamaan bahsa dan daerah  budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan  tradiri atau  juga karena  persamaan agama. Gerakan  nasionalisme dan  cita- cita  kebangsaan  yang  berkembang  di  eropa  pada  hakikatnya  memiliki  sifat cinta kebangsaan.  Nasionalisme  yang  berkembang  di  Eropa  kemudian  menjalar  ke  seluruh  dunia.  Memasuki  awal  abad  20  nasionalisme  mulai  berkembang  di  negara- negara  Asia dan  Afrika  termasuk  Indoensia.  Nasionalisme  di  Asia  dan  Afrika bukan  hanya  suatu  perjuangan  kemerdekaan  untuk  melepaskan  diri  dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan yang lebih mendalam,

Ciri-ciri Penting yang Berkaitan dengan Nasionalisme di Asia dan Afrika ;
  1. Konsep Ia merupakan sarana untuk menumbuhkan  semangat  perlawanan terhadap dominasi imperialisme Barat
  2. Ia  menjadi  peletak  dasar  bafi  terciptanya  perubahan  masyarakat  Asiaterutama  dalam  cara  pandang  tentang  kedaerahan  menjadi  cara  pandang seluruh bangsa.
  3. Ia  ditumbuhkan  oleh  para  pemimpin  intelektual  yang  memperoleh pengaruh  positif  dari  pendidikan  Barat  seperti  pendidikan  modern, berpikir  kritis,  komitmen  terhadap  kemajuan  ilmu  pengetahuan.  Kaum intelektual menemukan dua aspek yang dapat mereka manfaatkan Human dignity / martabat manusia ideologi / faham dari Barat seperti liberalisme dan demokrasi
  4. Ia  terus  berkembang  karena  para  pemimpin  dan  pengikutnya  lebih melihat masa depan dibanding masa lalu.
Yang  dimaksud  dominasi  (asal  kata dominant=  lebih  kuat/kuasa)  politik adalah  suatu  penguasaan penuh dalam bidang politik,  sehingga pemerintah ada
ditangan  penjajah.  eksploitasi  ekonomi  adalah  pemerasan  yang  dilakukan melalui eksploitasi kekayaan alam, monopoli, memeras tenaga kerja penduduk, sedangkan  penetrasi  (asal  kata  to  penetrate  =  menyusup/menerobos) kebudayaan  adalah  suatu  pemaksaan  kepada  penduduk  pribumi  untuk mengikuti  kebudayaan  bangsa  penjajah.  Coba  Anda  berikan  contoh  dari tindakan-tindakan tersebut.

Tekanan  dan  pemaksaan dari pihak  penjajah menimbulkan  reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah. Jadi dengan adanya kolonialisme  dan  imperialisme  menimbulkan  reaksi  bangkitnya  semangat berkebangsaan.  Perasaan  senasib  sepenanggungan  dan  menyatukan  kehendak dan  tekad  untuk  lepas  dari  penjajah  merupakan  inti  dari  nasionalisme Indonesia.  Nasionalisme  tersebut  lahir,  tumbuh  dan  berkembang  seirama dengan  perjalanan  sejarah,  bahwa  perlawanan  terhadap  penjajah  mengalami kegagalan.  Berbagai  upaya  telah  dilakukan,  namun  tidak  membuat  penjajah angkat  kaki  dari  bumi  Indonesia.  Mengapa  demikian?.Disebabkan  belum adanya  kesadaran  pentingnya  persatuan  dan  kesatuan  guna  melawan  penjajah karena  tingkat  pendidikan  bangsa  Indonesia  pada  saat  itu  masih  rendah. Akhirnya, secara lambat laun kesadaran itu mulai muncul dan berkembang.

1. Pengertian Nasional atau Nasionalisme

a. Penegrtian Leksikal
Secara  etimologis,  kata  nation  berakar  dari  kata  Bahasa  Latin  natio. Kata  natio  sendiri  memiliki  akar  kata  nasci,  yang  dalam  penggunaan klasiknya  cendrung  memiliki  makna  negatif  (peyoratif).  Ini  karena  kata nasci  digunakan  masyarakat  Romawi  Kuno  untuk  menyebut  ras,  suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar  atau  yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia  sekarang  adalah  tidak  beradab,  kampungan,  kedaerahan,  dan sejenisnya.

Kata  natio  dari  Bahasa  Latin  ini  kemudian  diadopsi  oleh  bahasa-bahasa  turunan  Latin  seperti  Perancis  yang  menerjemahkannya  sebagai nation,  yang  artinya  bangsa  atau  tanah  air.  Juga  Bahasa  Italia  yang memakai  kata  nascere  yang  artinya  “tanah  kelahiran”.  Bahasa  Inggris pun  menggunakan  kata nation untuk menyebut  “sekelompok  orang  yang dikenal  atau  diidentifikasi  sebagai  entitas  berdasarkan  aspek  sejarah, bahasa,  atau etnis yang  dimiliki  oleh mereka”  (The  Grolier  International Dictionary: 1992).

Pengertian  ini  jelas  mengalami  perubahan  karena  kata  nasion  dan nasionalisme  diadopsi  dan  dipakai  secara  positif  untuk  menggambarkan semangat  kebangsaan  suatu  kelompok  masyarakat  tertentu.  Di  bawah pengaruh semangat  pencerahan  (enlightenment),  kata  nasionalisme tidak lagi  bermakna negatif atau  peyoratif seperti  digunakan  dalam masyarakat Romawi  Kuno.  Sejak  abad  pencerahan  (zaman  pencerahan  atau  zaman Fajar  Budi  berlangsung  selama  abad  17–18),   kata  ini  mulai  dipakai secara  positif  untuk  menunjukkan  kesatuan  kultural  dan  kedaulatan politik dari suatu bangsa.

“Kesatuan  kultural”
  dan  “kedaulatan  politik”  merupakan  dua  kata kunci yang  penting untuk  memahami  nasionalisme.  Nasionalisme  dalam pengertian  kedaulatan  kultural  akan  berbicara  mengenai  semangat kebangsaan  yang  timbul  dalam  diri  sekelompok  suku  atau  masyarakat karena  mereka  memiliki  kesamaan  kultur.  Di  sini  kita  berbicara mengenai  nasionalisme  bangsa  Jerman  atau  bangsa  Korea  atau  bangsa-bangsa  di  Eropa  Tengah  dan  Timur  yang  memiliki  kesamaan  kultur. Semangat  kebang-saan  atas  dasar  kesamaan  kultur  ini  telah  terbentuk sebelum terbentuknya suatu negara bangsa.

Mengacu  pada  pengertian  ini,  Indonesia  jelas  tidak  menganut  paham nasionalisme  dalam  artian  kesamaan  kultur.  Kita  memiliki  pluralitas budaya  dan etnis  yang memustahilkan kita  berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur. Masih dalam konteks pengertian ini,  sebenar-nya  wajar  saja  jika  orang  Aceh  berbicara  mengenai nasionalisme  Aceh,  demikian  pula  orang  Papua,  Maluku,  Jawa,  Batak, Bugis,  Makassar,  Bali,  Flores,  dan  sebagainya.  Nasionalisme  yang mereka  mak-sudkan  tentu  saja  adalah  semangat  kebangsaan  atas  dasar persamaan kultur ini, dan semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar. Pengertian  kedua  adalah  nasionalisme  dalam  arti  kedaulatan  politik.

Berdasarkan  pengertian  ini,  suatu  kelompok  masyarakat  menentukan sikap  politik  mereka—atas  dasar  nasionalisme,  entah  nasionalisme kultural atau nasionalisme  politik—untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah  negara  yang  independen.  Itu  berarti  baik  kelom-pok  masyarakat yang  memiliki  kesamaan  kultur  maupun  yang  multi  kultur  dapat memiliki  nasionalisme  dalam  artian  kedaulatan  politik  ini.  Menurut pengertian  ini,  Indonesia  termasuk  yang  memiliki  nasionalisme  dalam arti kedaulatan  politik.  Demikian  pula halnya  dengan  negara-negara  lain yang memiliki keragaman kultur.
Nasionalisme  dalam  arti  semangat  kebangsaan  karena  kesamaan kultur mula-mula mendasarkan dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang  utama,  misalnya  kesamaan  darah  atau  keturunan,  suku  bangsa, daerah  tempat  tinggal,  kepercayaan  agama,  bahasa  dan  kebudayaan.

Ketika berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme merangkum atau  mengikutsertakan  nilai-nilai  lainnya  seperti  adanya  persamaan  hak bagi  setiap  orang  untuk  memegang  peranan  dalam  kelompok  atau masyarakatnya  serta  adanya  kepentingan  ekonomi.  Perkembangan  lebih lanjut  tentu  saja  adalah  adanya  hak  untuk  menentukan nasib  sendiri  (self determination)  dan  hak  untuk  tidak  dijajah  oleh  bangsa  lain  (freedom from slavery).  Dalam sejarah, tampak jelas bahwa hak  untuk mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru  yang  dipengaruhi  oleh  revolusi  Prancis  tahun  1789.  Sementara  itu, hak  untuk menentukan  nasib  sendiri  dan  hak  untuk tidak  dijajah bangsa lain  telah  menjadi  dasar  nasionalisme  dari  negara-negara  Asia–Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan setelah Perang Dunia II.


b. Pengertian menurut beberapa Tokoh

•  Joseph Ernest Renan dari Prancis (1822–1892)
Nasionalisme  adalah sekelompok  individu  yang  ingin  bersatu  dengan individu-individu  lain  dengan  dorongan  kemauan  dan  kebutuhan psikis.  Sebagai  contoh  adalah  bangsa  Swiss yang  terdiri  dari  berbagai bangsa dan budaya dapat menjadi satu bangsa dan memiliki negara.                                                           

•  Otto Bauer (Jerman, 1882–1939)
Nasionalisme  adalah  kesatuan  perasaan  dan  perangai  yang  timbul karena persamaan nasib, contohnya nasionalisme negaranegara Asia.

•  Hans Kohn
Nasionalisme  adalah  kesetiaan  tertinggi  yang  diberikan  individu kepada negara dan bangsa

•  Louis Snyder
Nasionalisme  adalah  hasil  dari  faktor-faktor  politis,  ekonomi,  sosial dan intelektual pada suatu taraf tertentu dalam  sejarah. Sebagai contoh adalah timbulnya nasionalisne di Jepang.


2. Bentuk-bentuk Nasionalisme

a. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)
adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  penyertaan  aktif  rakyatnya,  “kehendak  rakyat”,  “perwakilan politik”.  Teori  ini  mula-mula  dibangun  oleh  Jean-jacques  rousseau  dan menjadi  bahan-bahan  tulisan.  Antara  tulisan  yang  terkenal  adalah  buku berjudul  Du  Contact  Sociale  (atau  dalam  Bahasa  Indonesia  “mengenai kontrak sosial”).

b. Nasionalisme Etnis
adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  budaya  asal  atau  etnis  sebuah  masyarakat.  Dibangun  oleh Johan Gottfried  von Herder, yang memperkenalkan konsep  Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme  romantik  kisah  tradisi  yang  telah  direka  untuk  konsep nasionalisme  romantik.  Misalnya  “Grimm  Bersaudara”  yang  dinukilkan oleh  Herder  merupakan  koleksi kisah-kisah  yang  berkaitan  dengan etnis Jerman.

c. Nasionalisme Budaya
adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  budaya  bersama  dan  bukannya  “sifat  keturunan”  seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.

d. Nasionalisme kenegaraan
ialah variasi  nasionalisme  kewarganegaraan,  selalu  digabungkan  dengan nasionalisme  etnis.  Perasaan  nasionalistik  adalah  kuat  sehingga  diberi lebih keutamaan  mengatasi  hak universal  dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri  itu  selalu  kontras  dan  berkonflik  dengan  prinsip  masyarakat demokrasi.  Penyelenggaraan  sebuah  ’national  state’  adalah  suatu argumen  yang  ulung,  seolah-olah  membentuk  kerajaan  yang  lebih  baik dengan tersendiri. Contoh  biasa adalah Nazisme, serta nasionalime  Turki kontemporer,  dan  dalam  bentuk  yang  lebih  kecil,  Fransquisme  sayap kanan di  Spanyol,  serta  sikap ’  Jacobin  ’  terhadap unitaris  dan  golongan pemusat  negeri  Prancis,  seperti  juga  nasionalisme  masyarakat  Belgia, yang  secara ganas menentang demi  mewujudkan hak  kesetaraann ( equal rights  )  dan  lebih  otonomi  untuk  golongan  Fleming,  dan  nasionalis Basque atau Korsika.

e. Nasionalisme agama
ialah sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  legitimasi  politik dari persamaan agama.


3. Unsur-unsur Nasionalisme
Menurut Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu
  1. Hasrat untuk mencapai kesatuan,
  2. Mencapai kemerdekaan,
  3. Mencapai keaslian,
  4. Kehormatan bangsa.
Jadi  seorang  nasionalis  sejatinya  akan  mengutamakan  kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.


Berhubung makalah ini terlampau panjang saya bagi menjadi 3 bagian, jadi anda bisa melihat kelanjutannya pada tombol link berikut :

Bagian 2                              Bagian 3


Demikian sedikit penjelasan seputar "Makalah Pendidikan kewarganegaraan dan Identitas Nasional" yang bisa saya himpun dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan dapat membantu anda. Wassalam.

Kumpulan Makalah yang lainnya lihat   DISINI



Cpx24.com CPM Program

0 Komentar:

Post a Comment

Pemberitahuan :
Mohon maaf apabila komentar Sobat dari Facebook tidak bisa saya jawab semua, dikarenakan sulit untuk memoderasi komentar dari Facebook, bila sobat ada pertanyaan yang ingin lansung saya jawab, silakan Sobat berkomentar dari id Blogger.

** Jika anda terbantu dengan apa yang ada di blog ini jangan lupa untuk IZIN COPAS dan Ucapan Terimasih pada kotak komentar di bawah.**



close
Chat