Karakteristik Pendidik dalam Islam

Tuesday, March 25, 2014

print this page
send email

A. Pendahuluan
Dalam perspektif pendidikan islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah mengabdi kepada Allah. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat orang yang bertaqwa disisi-Nya. Beriman dan beramal shaleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh pendidikan islam. Sedangkan hakikat tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan ilmiah (insan kamil).

Untuk mengaktualisasikan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki tanggungjawab untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan karena kewajibanya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik. Bentuk nilai yangt ditransformasikan dan disosialisasikan  paling tidak meliputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.

Secara faktual, pelaksanaan transformasi pengetahuan dan iternalisasi nilai pada peserta didik secara integral merupakan tugas yang cukup berat di tengah kehidupan masyarakat yang kompleks, apalagi pada era globalisasi dan imformasi. Pandangan tersebut dilatarbelakangi banyaknya kasus yang melecehkan keberadaan pendidik di sekolah, di luar sekolah maupun dalam kehidupan sosial masyarakat yang demikian luas.


B. Pegertian pendidik

Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya). Selanjutnya dengan menambahkan awalan pe hingga menjadi pendidik yang artinya orang yang mendidik.

Secara terminologi, pendidik menurut Ahmad Tafsir[1]adalah "orang yang bertanggungjawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif maupun potensi psikomotoriknya." Sementara pendidik menurut Iman Barnadib[2]adalah "tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Pendidik terdiri dari : 1) orang tua; dan 2) orang dewasa lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak. Selanjutnya, Ahmad D. Marimba[3]memandang, bahwa " pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajiban bertangggung jawab tentang pendidikan si terdidik.

Istilah pendidik dalam konteks islam pada umumnya mengacu kepada term at-tarbiyah, an al-ta'dib, dan al-ta'lim.

1). Pengertian Tarbiyah

Abdurrahman An-Nahlawi[4]mengemukakan bahwa menurut kamus Bahasa Arab, lafal At-tarbiyah berasal dari tiga kata :

  1. Pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah an bertumbuh (Q.S. Ar-Rum (30): 39)
  2. Kedua, rabiya-yarba dengan wazan (bentuk) khafiyah-yakhfa, yang berarti menjadi besar.
  3. Ketiga, rabba-yarubbu dengan wazan (bentuk) madda-yamudduyang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, dan memelihara. (Q.S Al-Fatihah (1): 2)

Kata rabb sebagaimana sebgaiman yang terdapat dalam  (Q.S Al-Fatihah (1): 2) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah Al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (tuhan) dan murobbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta[5]

Kata "tarbiyah" merupakan masdhar dari rabba-yurabbi. Kata ini ditemukan dalam dalam Alquran surah Al-Isra (17): 24. Di dalam surah tersebut, kata tarbiyah digunakan untuk mengungkapkan pekerjaan orangtua yang mengasuh anaknya sewaktu kecil. Pengasuhan ini meliputi pekrjaan memberi makanan, minuman, pengobatan, memandikan, menidurkan dan kebutuhan lainya sebagai bayi. Semua itu dilakukan dengan rasa kasih saying.

2). Pengertian Mu'allim
Mu'allimberasal dari  al-fi'l al-madhi 'allama, mudhari'-nya yu'allimu dan mashdar-nya al-ta'lim. Artinya, telah mengajar, sedang mengajar, dan pengajaran. Kata mu'allim memeliki arti pengajar atau orang yang mengajar. Istilah mu'allim sebagai pendidik dalam Hadits Rosulullah adalah kata yang paling umum dikenal dan banyak ditemukan. Mu'allim merupakan al-isim al-fail dari 'allamayang artinya orang mengajaar. Dalam bentuk tsulasi mujarrrad, mashdar dari 'alima adalah 'ilmun, yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia disebut ilmu[6]

Dalam proses pendidikan istilah pendidikan yang kedua yang sering dikenal sesudah at-tarbiyatadalah al-ta'lim. Rasyid Rida, mengartikan al-ta'lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu. Ini dapat dilihat dalam (Q.S. al-Baqarah: 251).

Berdasarkan ayat tersebut, maka mu'allim adalah orang yang mampu untuk merekontruksi bangunan ilmu secara sistematis dalam pemikiran peserta didik dalam bentuk ide, wawasan, kecakapan, dan sebagainya, yang ada kaitanya dengan sesuatu. Mu'allim adalah orang yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan dengan peserta didik, yang denganya ia dipercaya menghantarkan peserta didik ke arah kesemprnaan dan kemandirian.

3). Pengertian Mu'addib
Mu'addib merupakan al-ism al-fail dari madhi-nya addaba yang artinya orang yang mendidik. Secara bahasa mu'addib merupakan bentukan mamashdar dari kata addaba yang berarti memberi adab, mendidik.[7]Adab dalam kehidupan sehari-hari sering diartikan tata krama, sopan santun, akhlak, budi pekerti. Anak yang beradab biasanya dipahami sebagai anak yang sopan yang mempunyai tingkah laku yang terpuji. Ini dapat dilihat dari Hadits Nabi:

أدبنى ربى فأحسن تأديبى

"Tuhanku telah mendidikku dan telah membaguskan pendidikank".

Hadits Nabi tersebut menjelaskan bahwa adanya proses pembentukan kepribadian yang secara berangsur angsur ditanamkan kepada manusia.

Dalam pengertian yang lebih luas pendidik dalam persfektif pendidikan islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani peserta didik agar ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun 'abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Oleh karena itu pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan mulai sejak alam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai  meninggal dunia.

Beberapa definisi di atas mengisyaratkan, bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pekembangan dan kematangan aspek rohani dan jasmani anak. Pendidik itu bisa saja orang tua dari si terdidik itu sendiri, atau orang lain yang diserahi tanggung jawab oleh orang tua.


C. Keutamaan Pendidik dalamPendidikan Islam
Pendidik adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam agam islam. Dalam ajaran islam pendidik disamakan ulama yang sangatlah dihargai kedudukanya. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasul-Nya.

Firman Allah swt

Artinya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadalah: 11)

Dalam beberapa hadits disebutkan "jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga kamu menjadi rusak. Dalam hadis Nabi yang lain:  "Tinta para ulama lebih tinggi nilainya daripada darah para shuhada". (H.R Abu  Daud dan Turmizi) Dalam hadis Nabi yang lain: "Sebaik-baik kamu adalah orang yang mepelajari al-Quran dan mengamalkanya". (H.R. Bukhari)

Firman Allah dan sabda Rasul tersebut menggambarkan tingginya kedudukan orang yang mempunyai Ilmu Pengetahuan (pendidik). Hal ini beralasan bahwa dengan pengetahuan dapat mengantarkan manusia untuk selalu berpikir dan menganalisa hakikat semua fenomena yang ada pada alam, sehingga mampu membawa manusia semakin dekat dengan Allah. Dengan kemampuan yang ada pada manusia terlahirlah teori-teori untuk kemaslahatan manusia.

Menurut al-Ghazali pendidik merupakan maslikhul kabir.[8]Bahkan dapat dikatakan pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tuanya menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkan dari sengatan api neraka. Menurut Hasan Langgulung, kedudukan pendidik dalam pendidikan islam ialah orang yang memikul tanggung jawab membimbing. Orang yang bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan dan mendidik peserta didik. Oleh karena fungsinya sebagai pengarah dan pembimbing dalam pendidikan, maka keberadaan pendidik sangat diperlukan dalam pendidikan islam. Selain sebagai pembimbing dan pemberi arah dalam pendidikan, pendidik juga berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar-mengajar, yaitu berupa teraktualisasinya sifat-sifat ilahi dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik guna mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.[9]

Al-Ghazali menukil beberapa hadis Nabi tentang keutamaan seorang pendidik. Ia berkesimpulan bahwa pendidik disebut sebagai orang-orang besar (great individual) yang aktivitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun (QS. At-Taubah (9): 122). Selanjutnya Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa denganya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab mendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah danilahiyah.

Al-Ghazali mengkhususkan guru dengan sifat-sifat kesucian dan kehormatan dan menempatkan guru langsung sesudah kedudukan Nabi seperti contoh sebuah syair yang diungkapkan oleh syauki yang berbunyi: "berdirilah dan hormatilah guru dan berilah ia penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul".
Al-gazali juga menyatakan sebagai berikut: "seseorang yang berilmu dan kemudian mengamalkan ilmunya itu dialah yang disebut dengan orang besar di semua kerajaan langit, dia bagaikan matahari yang menerangi alam sedangkan ia mempunyai cahaya dalam dirinya seperti minyak kasturi yang mengaharumi orang lain karena ia harum, seorang yang menyiukkan dirinya dalam mengajar berarti dia telah memilih pekerjaan terhormat". Oleh karena itu hendaklah seorang guru memprhatikan dan memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya seagai seorang pendidik.[10]


D. Tugas Pendidik dalamPandangan Islam
Menurut al-Ghzali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kapada Allah. Hal tersebut karena tujuan pendidikan islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan peserta didik dalam peribadatan kepada-Nya, berarti ia mengalami kegagalan dalam tugasnya, sekalipun peserta didik memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal tersebut mengandung arti akan keterkaitan ilmyu dengan amal shaleh.

Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan ru)  yang berarti “digugu” dan “ditiru”.Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memilki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak-tanduknya patut dijadikan panutan dari suri teladan oleh peserta didik. Pengertian ini di asumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar transformasi ilmu, tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya kepada peserta didik. Pada tatanan ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukanya (dilihat oleh pesearta didik).

Muhaimin secarah utuh mengemukakan karesteristik tugas-tugas pendidik dalam pendidikan islam. Dalam rumusanya, Muhaimin menggunakan istilah-istilah ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris, dan mu’addib.[11]Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Ustadzadalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.
  2. Mu’allim adalah orang yang mengusai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis praktisnya, sekaligus melakukan transferilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi. (Q.S. al-Baqarah:251)
  3. Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya. (Q.S. al- Isra': 24) dan (Q.S. al-Fatihah:2)
  4. Mursyidadalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan, teladan, dan konsultan  bagi peserta didik.
  5. Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan imformasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahlian secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didik, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
  6. Mu’addib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa tugas-tugas pendidik amat sngat berat, yang tidak saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan efektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah dilakukannya, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi yang signifikan tehadap penghargaan yang diperolehnya.


E. Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam
Dalam melaksanakan  tugasnya, pendidik perlu memahami dan mengikuti norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antara pendidik dan peserta didik, orangtua peserta didik, kolega dan atasanya. Itulah yang disebut kode etik pendidik. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.

Menurut Ibnu Jama'ah,[12]etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut :

1). Etika yang terkait dengan dirinya sendiri, yaitu :

  • Memiliki sifat keagamaan (diniyyah) yang baik, meliputi patuh dan tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan.
  • Memiliki sifa-sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah).

2). Etika terhadap peserta didik, yaitu :

  • Sifat-sifat sopan santun (adabiyyah).
  • Sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelmatkan (muhniyyah).

3). Etika dalam proses belajar mengajar, yaitu :

  • Sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah);
  • Sifat-sifat seni yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan.

Dalam merumuskan kode etik, Al-Ghazali lebih menekankan betapa berat kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta didiknya. Kode etik pendidik terumuskan sebanyak 17 bagian[13], sementara kode etik peserta didik hanya 11 bagian. Hal itu terjadi karena guru dalam konteks ini memegang banyak peran yang tidak hanya menyangkut keberhasilannya dalam menjalankan profesi keguruan, tetapi juga tanggung jawabnya dihadapan Allah kelak. Adpun kode etik pendidik yang dimaksud adalah :

  1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka.
  2. Bersikap penyantung dan penyayang (QS. Ali Imran (3) :159)
  3. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama (QS. An-Najm (53): 32)
  4. Bersifat rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat. (QS. Al-Hijr (15): 88)
  5. Menjaga kewibawaan dan kehormatan dalam bertindak serta Menghilangkan sifat yang tidak berguna dan sia-sia.
  6. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal dan Meninggalkan sifat marah dalam mengahdapi problem peserta didik
  7. Memperbaiki sikap peserta didik, dan lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicara.
  8. Meninggalkan sifat yang menakutkan bagi peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui.
  9. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaanya terkesan tidak bermutu atau tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan.
  10. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik.
  11. Mencegah dan mengontol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan. (QS. Al-Baqarah (2): 195)
  12. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari imformasi guna disampaikan pada pesertra didik yang pada akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah. (QS. Al-Bayyinah (98): 5)
  13. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah (kewajiban kolektif, seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi, dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardhu 'ain (kewajibanindividual, seperti akidah, syariah, dan akhlak).
  14. Mengaktualisasikan imformasi yang diajarkan kepada peserta didik. (QS. Al-Baqarah (2): 44, Ash-shaff (61): 2-3).

F. Kesimpulan
Untuk terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan ilmiah (insan kamil). seorang pendidik harus memiliki tanggungjawab untuk mengantarkan peserta didik kearah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik kepribadiannya. Untuk itu, seorang pendidik dalam melaksanakan kewajibanya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik. Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan  paling tidak meliputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.


G. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat penulis susun sebagai pemenuhan tugas akhir semester III dengan mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Dalam makalah ini, tentunya masih banyak kesalahan-kesalahan sehingga kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perkembangan diri penulis. Kami berharap, agar makalah ini bisa dijadikan sebagai amalan dan sumbangsih ilmiah, utamanya untuk khazanah pendidikan islam.


DAFTAR PUSTAKA

  • [1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74.
  • [2] Sutari Iman Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andioffset, 1993), h. 61.
  • [3] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1980),h. 37
  • [4] Abdurrahman An-Nahlawi, prinsip-Prinsip Dan Metode Pendidikan Silam Dalam Keluarga Di Sekolah Dan Masyarakat. Terjemahan Herry Noor Ali. Judul Asli " Ushul At-Tarbiyat Al-Islammiyah wa Asalibiha, (bandung: Diupenogoro, 1989) h. 31
  • [5] Omar Muhammad Al-Thoumy, Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). H. 41
  • [6] Al-Jurnani dalam kitabnya al-Ta'rifat, mendefinisikan ilmu dengan; (1) ilmu adalah kesimpulan yang pasti sesuai dengan keadaan sesuatu; (2) ilmu adalah menetapnya ide (gambaran) tentang sesuatu alam jiwa dan akal seseorang;  (3) ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakikat sesuatu. Lihat Al-Jurnani, Al-Ta'rifat, (Tunisia: Dar al-Tunisiyat, tt), h. 82.
  • [7] Muhammad Yunus, kamus arab-Indonesia , (Jakarta: PT. Hiakarya Agt 1990), h. 37
  • [8] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid 1, (Beirut: Dar al- Fikr, 1991) h. 22
  • [9] Hasan Langgulung, dalam Ramayulis, Metodologi Pengjaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 19.
  • [10] Al-Ghazali dalam Ramayulis, op. cit. h. 62.
  • Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), h. 86
  • [11] Muhaimin, PengembanganKurikulum Agama Islam di Sekolah, Mdrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali, 2005), H. 50.
  • [12] Abd Al-Amir Syams Ad-Din, Al-Mazhab At-Tarbawi 'ind Ibn Al-Jama'ah, (Beirut: Dar Iqra', 1984), h. 18-24
  • [13] Muhammad Nawwawi Bantani Al-Jawi, Muraqi Al-Ubudiyah fi Syarh Al-Bidayah Al-Hidayah, (Bandung: Al-Ma'arif) h. 88.

Demikian sedikit penjelasan seputar "Karakteristik Pendidik dalam  Islam" yang bisa saya himpun dari berbagai sumber. Semoga bermanfaat dan dapat membantu anda. Wassalam.

Kumpulan Makalah yang lainnya lihat   DISINI



Cpx24.com CPM Program

0 Komentar:

Post a Comment

Pemberitahuan :
Mohon maaf apabila komentar Sobat dari Facebook tidak bisa saya jawab semua, dikarenakan sulit untuk memoderasi komentar dari Facebook, bila sobat ada pertanyaan yang ingin lansung saya jawab, silakan Sobat berkomentar dari id Blogger.

** Jika anda terbantu dengan apa yang ada di blog ini jangan lupa untuk IZIN COPAS dan Ucapan Terimasih pada kotak komentar di bawah.**



close
Chat