A. Pengertian secara etimologi/bahasa
Istilah/kata perkawinan dalam fiqh dikenal dengan istilah nikah نكاح)) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini, nakaha dan zawaja yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur'an untuk menunjuk pengertian perkawinan (pernikahan). Sebenarnya kata nikah itu sendiri sudah menjadi bahasa Indonesia.
Secara etimologi kata نكاح berarti الجمع = berkumpul, berhimpun. Adapun kata زواج berarti pasangan. Dengan demikian, dari sisi bahasa, perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Kata زواج dalam berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 80 kali dalam al-Qur'an. Sementara kata نكاح dalam berbagai bentuknya ditemukan 23 kali. Dengan demikian dari kedua istilah yang digunakan untuk menunjukkan perkawinan (pernikahan) dapat dikatakan, bahwa dengan pernikahan menjadikan seseorang mempunyai pasangan. (Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, hlm. 17).
Dalam pada itu ada pula pendapat bahwa secara bahasa, kata نكاح , selain berarti al-jam'u, juga bisa berarti الضَّمُّ berarti menghimpit, dan الدُّخُول berarti memasuki atau دخول الشيئ فى الشيئ masuknya sesuatu kepada sesuatu. Orang Arab menyebut kata nikah dengan maksud الوطء (hubungan seksual). Akad perkawinan disebut nikah karena dengan adanya akad tersebut terjadi hubungan seksual (As-San'aniy, Subul as-Salam, III: 109). Perlu dikemukakan juga bahwa kata nikah menurut para ulama mempunyai dua arti, arti hakiki dan arti majazi, yaitu wat'un atau akad. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah makna hakiki dari kata nikah, wat'un atau akad. Menurut ulama Hanafiyah, nikah arti hakikinya ialah wat’un (setubuh) sedangkan art majazinya akad. Menurut ulama Syafi’iyah, nikah arti hakikinya akad sedangkan arti majazinya ialah wat’un. Menurut Abul Qasim az-Zajjad, Ibn Hazm, bahwa dalam kata nikah bersyarikat antara makna akad dan setubuh.
Istilah/kata perkawinan dalam fiqh dikenal dengan istilah nikah نكاح)) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini, nakaha dan zawaja yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur'an untuk menunjuk pengertian perkawinan (pernikahan). Sebenarnya kata nikah itu sendiri sudah menjadi bahasa Indonesia.
Secara etimologi kata نكاح berarti الجمع = berkumpul, berhimpun. Adapun kata زواج berarti pasangan. Dengan demikian, dari sisi bahasa, perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Kata زواج dalam berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 80 kali dalam al-Qur'an. Sementara kata نكاح dalam berbagai bentuknya ditemukan 23 kali. Dengan demikian dari kedua istilah yang digunakan untuk menunjukkan perkawinan (pernikahan) dapat dikatakan, bahwa dengan pernikahan menjadikan seseorang mempunyai pasangan. (Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, hlm. 17).
Dalam pada itu ada pula pendapat bahwa secara bahasa, kata نكاح , selain berarti al-jam'u, juga bisa berarti الضَّمُّ berarti menghimpit, dan الدُّخُول berarti memasuki atau دخول الشيئ فى الشيئ masuknya sesuatu kepada sesuatu. Orang Arab menyebut kata nikah dengan maksud الوطء (hubungan seksual). Akad perkawinan disebut nikah karena dengan adanya akad tersebut terjadi hubungan seksual (As-San'aniy, Subul as-Salam, III: 109). Perlu dikemukakan juga bahwa kata nikah menurut para ulama mempunyai dua arti, arti hakiki dan arti majazi, yaitu wat'un atau akad. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah makna hakiki dari kata nikah, wat'un atau akad. Menurut ulama Hanafiyah, nikah arti hakikinya ialah wat’un (setubuh) sedangkan art majazinya akad. Menurut ulama Syafi’iyah, nikah arti hakikinya akad sedangkan arti majazinya ialah wat’un. Menurut Abul Qasim az-Zajjad, Ibn Hazm, bahwa dalam kata nikah bersyarikat antara makna akad dan setubuh.
B. Pengertian secara istilah
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan perkawinan (pernikahan) secara istilah. Ulama klasik lebih berorientasi kepada kehalalan hubungan seksual. Sebagai contoh, ulama Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan :
عقد وُضع لتملّك المـتـعة بالانثى قصدا
"Akad yang memfaedahkan hak memiliki bersedap-sedap terhadap seorang wanita dengan sengaja".
Dimaksud dengan hak memiliki bersedap-sedap ialah tertentunya suami memanfaatkan seks isteri beserta bagian badannya sebagai alat bersenang-senang. Dimaksudkan dengan memiliki ialah kehalalan bersenang-senang, bukan memiliki sebagai milik kebendaan (al-Hushary, an-Nikah wa al-Qadaya al-Muta'aliqatu bih, hlm. 8).
Al-Jaziri dalam kitabnya Kitab al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah, IV: 2, mendefinisikan nikah/perkawinan dengan:
عقد وضعه الشارع ليرتب عليه انتفاع الزوج ببضع الزوجة وسائر بدنها من حيث التلذذ
"Suatu akad yang ditetapkan syara' agar dengan akad itu menjadi (berakibat) suami berhak mengambil manfaat kemaluan isterinya dan seluruh badannya untuk bersenang-senang"
Definisi di atas kesemuanya menitik beratkan kepada badan isteri sebagai obyek akad dan hanya meninjau dari hak dan kepentingan suami terhadap isterinya, tidak mengemukakan akibat akad itu yang berupa hak dan kewajiban yang timbal balik antara keduanya serta tujuan perkawinan.
Bandingkan dengan definisi di bawah ini :
Dr. Mustafa as-Siba'iy dalam karyanya al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, hlm. 32-33 merumuskan pernikahan dengan :
عقد بين رجل وامرأة احلّ له شرعا غايته انشاء رابطة للحياة المشتركة والنسل
"Suatu akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dihalakan menurut syara' yang bertujuan menumbuhkan ikatan untuk hidup bersama dan berketurunan".
Dalam definisi ini ditegaskan bahwa akad nikah itu adalah akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (dalam definisi yang dikemukkan fuqaha sebelumnya tidak tegas siapa yang mengadakan akad). Sekalipun tidak dijelaskan mengenai akibat dari akad perkawinan yang berupa hak dan kewaiban, tetapi dalam defini ini sudah tujuan dari adanya akad yaitu hidup bersama dan berketurunan.
Menurut Muhammad Abu Ishrah pernikahan yaitu:
عقد يفيد حلّ العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونهما ويُـحَدُّ مالكليهما من حقوق وما عليه من واجبات
"Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan mengadakan tolong menolong dan membatasi (menentukan) hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masingnya".
Dalam definisi ini dijelaskan bahwa perkawinan itu selain mengakibatkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi prinsip tolong menolong juga mengakibatkan adanya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
Dari beberapa rumusan di atas sekalipun secara redaksional berbeda, tetapi ada yang disepakati, yaitu bahwa perkawinan itu merupakan suatu akad atau perikatan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, rumusan perkawinan dimuat dalam Pasal 1, bahwa perkawinan dirumuskan dengan "ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dari rumusan perkawinan di atas dapat digaris bawahi bahwa perkawinan itu sebuah perikatan, tetapi tidak sekedar perikatan melainkan ikatan lahir dan batin dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera, tentram.
Dalam KHI rumusan perkawinan dimuat dalam Pasal 2, pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan galidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Kata misaqan galidan ini ditarik dari firman Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 21.
Kalau dibaca rumusan perkawinan dalam KHI, kelihatan rumusan ini tidak menjelaskan pengertian perkawinan secara jelas, sekalipun di situ disebutkan sebagai sebuah akad, akan tetapi tidak disebutkan akad tersebut anatara siapa dengan siapa. Demikian juga tidak disebutkan akad apa atau untuk apa. Mengenai Kata misaqan galidan dalam rumusan tersebut, adalah ditarik dari firman Allah yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 21.
TUJUAN PERKAWINAN
Tidak sama istilah yang dipakai para ahli dalam menyebutkan tujuan
perkawinan, di samping ada yang memakai istilah tujuan, ada juga yang
memakai istilah manfaat, dan ada juga yang memakai istilah faedah serta
ada pula yang menyebutnya dengan hikmah perkawinan. Demikian juga para
ahli tidak sama dalam menyebutkan banyaknya tujuan perkawinan serta
urut-urutannya. Dalam pembahasan ini dipakai istilah tujuan.
Menurut Khoiruddin Nasution, penetapan tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang mengisyaratkan tujuan perkawinan. Ada sejumlah nas yang berbicara sekitar tujuan perkawinan, yaitu: Al-Baqarah (2): 187 dan 223; an-Nisa’ (4): 1, 9, 24; an-Nahl (16): 72; al-Mu’minum (23): 5-7; an-Nur (24): 33; ar-Rum (30): 21; asy-Syura (42): 11; al-Ma’arij (70): 29-31; dan at-Tariq (86): 6-7. Sementara sunnah Nabi Muhammad saw yang berbicara tentang tujuan perkwinan ialah:
1- تناكحوا تكاثروا فإنى أباهى بكم الامم يوم القيامة
2- يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض بالبصر واحصن للفرج....
3- ومن تزوج فقد احرز شطر دينه فليتق الله فى الشطر الباقى
4- تزوجوا الولود فإنى مكاثر بكم الامم يوم القيامة
5- ولكنى أصوم وافطر وأصلى وارقد واتزوج النساء من رغب عن سنتى فليس منى
Dari sejumlah nas tersebut kalau disimpulkan akan terlihat minimal lima tujuan umum perkawinan, yakni :
Menurut Khoiruddin Nasution, penetapan tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang mengisyaratkan tujuan perkawinan. Ada sejumlah nas yang berbicara sekitar tujuan perkawinan, yaitu: Al-Baqarah (2): 187 dan 223; an-Nisa’ (4): 1, 9, 24; an-Nahl (16): 72; al-Mu’minum (23): 5-7; an-Nur (24): 33; ar-Rum (30): 21; asy-Syura (42): 11; al-Ma’arij (70): 29-31; dan at-Tariq (86): 6-7. Sementara sunnah Nabi Muhammad saw yang berbicara tentang tujuan perkwinan ialah:
1- تناكحوا تكاثروا فإنى أباهى بكم الامم يوم القيامة
2- يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض بالبصر واحصن للفرج....
3- ومن تزوج فقد احرز شطر دينه فليتق الله فى الشطر الباقى
4- تزوجوا الولود فإنى مكاثر بكم الامم يوم القيامة
5- ولكنى أصوم وافطر وأصلى وارقد واتزوج النساء من رغب عن سنتى فليس منى
Dari sejumlah nas tersebut kalau disimpulkan akan terlihat minimal lima tujuan umum perkawinan, yakni :
- Memperoleh ketenangan hidup yang penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sebagai tujuan pokok dan utama, yang kemudian dibantu dengan tujuan:
- Tujuan reproduksi (penerusan generasi),
- Pemenuhan kebutuhan biologis (seks),
- Menjaga kehormatan, dan
- Ibadah. Urutan nomor tidak menunjukkan urutan prioritas, kecuali urutan nomor 1. Artinya, tujuan nomor 2 dapat menempati urutan nomor 4 misalny (Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (2005): 37-38). Berikut uraian dari kelima tujuan tersebut.
A. Memperoleh kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Tujuan ini dapat dicapai secara sempurna apabila tujuan-tujuan lain dapat terpenuhi. Dengan ungkapan lain, tujuan-tujuan lain adalah sebagai pelengkap untuk memenuhi tujuan utama ini. Dengan tercapainya tujuan reproduksi, tujuan memenuhi kebutuhan biologis, tujuan menjaga diri, dan ibadah, dengan sendirinya insya Alla tercapai pula ketenangan, cinta dan kasih sayang. Inilah yang dimaksud dengan tujuan lain sebagai pelenklap untuk mencapai tujuan pokok atau utama. Tujuan mendapat sakinah, mawaddah wa rahmah, disebutkan dalam surat ar-Rum ayat 21 :
ومن اياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة ...
سكينة berasal dari kata سكن yang berarti tenang atau diamnya sesuatu setelah bergejolak. Perkawinan adalah pertemuan antara pria dan wanita yang kemudian menjadikan kerisauan antara keduanya menjadi ketentraman atau sakinah menurut bahasa al_Qur’an (ar-Rum (20): 21). Penyebutan سكين untuk pisau adalah karena pisau itu alat sembelih yang menjadikan binatang yang disembelih tenang.
Dari beberapa ayat yang lain juga menunjukkan bahwa hubungan suami dan isteri adalah hubungan cinta dan kasih sayang, misalnya al-Qur’an menggambarkan hubugan Adam dan Hawa. Dalam surat al-Baqarah (2): 187 bahwa suami dan isteri sebagai pakaian antara keduanya ”hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna”.
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa hubungan suami isteri adalah hubungan cinta dan kasih saying dan bahwa ikatan perkawinan pada dasarnya tidak dapat dibatasi hanya dengan pelayanan yang bersifat material dan biologis saja. Pemenuhan kebutuhan material, spt makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya hanya sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan yang lebih mulia dan tinggi, yakni kebutuhan rohani, cinta, kasih sayang, dan barakah dari Allah. Asumsinya, pelayanan yang bersifat material akan diikuti dengan hubungan batin, yakni cinta dan kasih sayang.
B. Reproduksi/regenerasi
Tujuan yang kedua ini untuk mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi dapat dilihat dalam beberapa ayat dan hadis di bawah ini:
- Asy-Syura (42): 11. Manusia dan binatang diciptakan secara berpasangan dari jenisnya sendiri agar berkembang biak.
- An-Nahl (16): 72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isterimu itu anak-anak dan cucu-cucu dan member rezeki dari yang baik-baik
- n-Nisa’ (4): 1. Allah menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian daripadanya menciptakan isterinya dan dari keduanya mengemabangbiakan manusia laki-laki dan perempuan.
- Hadis Nabi yang memerintahkan untuk menikah dengan pasangan yang penuh kasih dan subur (produktif).تزوجوا الودود الولود ...
- Hadis nabi yang memerintahkan kawin agar jumlah ummat banyak :تناكحوا تكاثرو...
Nas di atas menunjukkan tujuan pentingnya reproduksi agar umat Islam
kelak di kemudian hari menjadi umat yang banyak dan tentu saja
berkualitas, karena juga kita diperingatkan untuk tifdk meninggalkan
generasi yang lemah (an-Nisa’ (4): 9)
Apabila dibandingkan terdapat perbedaan antara surat asy-Syura (42): 11 yang menunjukkan perkembangbiakan binatang ternak dengan surat ar-Rum (20): 21 yang menunjukkan regenerasi manusia, yaitu ketika menyebut regenarasi manusia disebutkan kalimat mawaddah wa rahamah tetapi tidak disebutkan ketika berbicara tentang binatang.
Apabila dibandingkan terdapat perbedaan antara surat asy-Syura (42): 11 yang menunjukkan perkembangbiakan binatang ternak dengan surat ar-Rum (20): 21 yang menunjukkan regenerasi manusia, yaitu ketika menyebut regenarasi manusia disebutkan kalimat mawaddah wa rahamah tetapi tidak disebutkan ketika berbicara tentang binatang.
C. Pemenuhan kebutuhan biologis
Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dlihat dalam beberapa ayat dan hadis :
- Surat al-Baqarah (2): 187: Dihalalkan pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isterimu, mereka pakaian bagimu dan kamu pakaian bagi mereka.
- Surat al-Baqarah (2): 223: Isteri-isterimu seperti tanah tempat kamu becocok tanam, datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu mau.
- Surat an-Nur (24): 33: Orang-orang yang belum mampu kawin hendaklah menjaga kesucian diri sampai Allah memberi kemampuan. Budak-budak perempuan yang kamu miliki jangan dipaksa untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. Buatlah perjanjian dengan mereka.
- Surat al-Ma’arij (70): 29-31 dan surat al-Mu’minun (23): 5-7: Orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali kepada isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Barang siapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yanag melampaui batas.
- HadisNabi :
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض بالبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء.
Nas yang secara langsung menunjukkan pemenuhan kebutuhan biologis adalah Surat al-Baqarah (2): 187 dan surat al-Baqarah (2): 223 ditambah dengan hadis di atas. Sementara surat an-Nur (24): 33 menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang membutuhkan nikah tetapi tidak atau belum mampu. Adapun Surat al-Ma’arij (70): 29-31 dan surat al-Mu’minun (23): 5-7 lebih menekankan pada upaya usaha menjagala kemaluan/kehormatan.
D. Menjaga kehormatan
Tujuan keempat dari perkawinan ialah untuk menjaga kehormatan. Dimaksud dengan kehormatan ialah kehormtan diri sendiri, anak dan keluarga. Tujuan ini tersirat di samping dalam ayat-ayat yang mengutarakan tujuan pemenuhan biologis, yaitu Surat al-Ma’arij (70): 29-31 dan surat al-Mu’minun (23): 5-7: juga dalam an-Nisa (4): 24 :
واحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا باموالكم محصنين غير مسافحين فمااستمتعتم به منهن أجورهن فريضة ولاجناح عليكم فيما تراضيتم به من بعض الفريضة إن الله كان عليما حكيما
“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian itu (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikamti (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban, dan tidak mengapa merelakan mahar yang sudah ditentukan.”
Dengan demikian menjaga kehormatan harus menjadi satu kesatuan dengan tujuan pemenuhan biologis. Artinya di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Apabila hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seorang laki-laki atau peremuan dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya, lalu melakukan hubungan badan untuk memenuhi kebutuan biologisnya. Tetapi dengan itu ia akan kehilngan kehormatan. Sebaliknya dengan perkawinan dua kebutuhan tersebut dapat terpenuhi kepada Allah, yakni kebutuhan seksualnya terpenuhi, demikian juga kehormatan terjaga.
E. Ibadah
Tujuan perkawinan yang kelima ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, tersirat dari beberapa nas yang sebelumnya sudah disebutkan. Di antaranya ialah hadis Nab yang menyebutkan: ومن تزوج فقد احرز شطر دينه فليتق الله فى الشطر الباقى (seseorang yang melakukan perkawinan sama dengan seseorang yang melakukan setengah agama).
Nas ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan anjuran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari ibadah. Nas lain sekalipun tida secara tegas tetapi makna tersirat, misalnya hadis Nabi Muhammad saw yang mempunyai harapan pribadi agar umatnya dapat berjumlah banyak pada akhir zaman nanti. Pada dasarnya hadis ini menjelaskan tujuan reproduksi dalam perkawinan, yaitu untuk meneruskan keturun dan memperbanyak ummat Muhammad, bukan tujuan ibadah. Tetapi dengan mengikuti sunnah Nabi sama artinya dengan melakukan ibadah. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa dengan menjalanakan perkawinan sebagaibagian dari melakukan snnah Nabi Muhammad saw berarti juga melakukan ibadah.
Sebagai tambahan, sekalipun bukan tujuan perkawinan tetapi dapat disebut dan penting dipahami, bahwa dalam perkawinan bukan hanya urusan ibadah murni, tetapi di dalamnya juga ada unsure social. Oleh karena itu menjadi tidak tepat kalau ada orang mengatakan dan berpendapat bahwa perkawinan hanya urusan pribadi dengan Allah, dan tidak perlu campur tangan orang lain dan pemerintah. Sebab sejumlah hadis menunjukan bahwa perkawinan juga ada unsure social kemasyarakatan, yang karenanya penting keterlibatan orang lain dan pemerintah. Untuk membedakan nikah sirri dengan nikah bukan sirri, antara lain harus ada I’lan nikah, pemberitahuan kepada masyarakat luas, seperti disebutkan dalam hadis اعلنوا هذا النكاح واضربوا عليه بالغربال (Umumkanlah perkawinan dan pukullah rebana). Dari hadis ini menunjukkan bahwa dalam perkawinan ada unsure sosial yang harus dijaga para pasangan. Dengan demikian aturan pemerintah untuk mencatatkan perkawinan termasuk dalam koridor kepentingan dan unsure sosial dan pemerintahan yang harus diakui oleh semua oang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan indukti). Artinya semua tujuan itu harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Tujuan reproduksi tidak bisa dipisahkan dari tujuan pemenuhan kebutuhan biologis, tujuan memperoleh kehidupan yang tentram penuh cinta dan kasih sayang, tujuan menjaga kehormatan, dan tujuan ibadah. dst.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tujuan perkawinan tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri tetapi disebutkan dalam rumusan perkawinan yaitu dalam Pasal 1 bahwa tujuan tersebut ialah “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dalam KHI, tujuan.perkawinan disebutkan dalam Pasal 3 yaitu “untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.. Tujuan ini ditarik dari firman Allah dalam surat ar-Rum (30) ayat 21.
Sekalipun secara redaksi berbeda, tetapi tujuan perkawinan menurut UU No. 1/1974 dengan KHI esensinya tidaklah berbeda, yaitu membentuk keluarga yang bahagia (sakinah) dengan dilandasi oleh mawddah wa rahmah.
Demikian sedikit penjelasan seputar
"Pengertian Perkawinan dan Tujuan Perkawinan" yang bisa saya himpun dari berbagai sumber.
Semoga bermanfaat dan dapat membantu anda. Wassalam.
Kumpulan Artikel yang lainnya lihat DISINI
0 Komentar:
Post a Comment
Pemberitahuan :
Mohon maaf apabila komentar Sobat dari Facebook tidak bisa saya jawab semua, dikarenakan sulit untuk memoderasi komentar dari Facebook, bila sobat ada pertanyaan yang ingin lansung saya jawab, silakan Sobat berkomentar dari id Blogger.
** Jika anda terbantu dengan apa yang ada di blog ini jangan lupa untuk IZIN COPAS dan Ucapan Terimasih pada kotak komentar di bawah.**